Wednesday, February 11, 2015

Matahari di Atas Batavia

Klik Batavia adalah website yang komplit tentang Batavia. Maka dari itu kurang lengkap kalau tidak ada novel yang bercerita tentang kota tua ini, menjadikannya panggung yang menegangkan dan sekaligus romantis.
 
Novel ini diangkat dari kehidupan nyata di Batavia, penelitian sejarah kota ini pada tahun 1737-1740 dimana mayoritas penduduk kota adalah orang Tionghoa dan yang memerintah adalah orang Belanda. Kehidupan Batavia pada saat itu sangat religius dengan dominasi kehidupan gereja protestan Kalvinis. Sebaliknya kehidupan dipecinan yang berada diluar tembok kota adalah agama kelenteng.
 
Novel ini mengangkat kisah seorang sinshe yang bertugas di rumah sakit Tionghoa, sayang rumah sakit itu sudah diruntuhkan tanpa bekas dan sudah dilupakan orang. Diceritakan percintaan antara seorang sinshe dengan gadis berdarah campuran Belanda - Tionghoa. Latar belakang percintaan mereka adalah peristiwa 1740 yang mana Batavia di serang orang Tionghoa dibawah pimpinan Khe Panjang dan peristiwa pembantaian orang Tionghoa. 
 
Ditulis oleh seorang sejarahwan dan penulis yang lagi naik daun Chen Ming Sien, akan bertutur dalam cerita bersambung. Novel ini sebuah gebrakan dari bentuk novel tradisional yang satu arah. Sebaliknya novel ini dua arah dimana pembaca dapat memberi komentar dan saling berkomentar serta berdiskusi.

Ingin Membacanya? Silahkan Klik Disini.




Lambang Semarang Tempo Doeloe

Pada tahun 1830 an kota Semarang juga sudah memiliki sebuah lambang kota, yang terdiri dari sebuah bidang dengan dasar warna biru lazuardi, di tengah lambang itu kita dapat melihat lukisan seorang anak perawan yang terbuat dari perak dengan kepala mengunakan sebuah tiara, terbuat dari kayu jati dan dedaunan semacam daun salam, sementara tangan kanannya nampak memegang kepala seekor singa yang terbuat dari emas, yang pada kakinya nampak memegang 19 buah anak panah. Adapun tangan kiri dari anak perawan itu juga nampak jelas memegang sebuah jangkar.

Di samping itu juga terdapat sebuah legenda berbunyi: "Semarang er onder geplaats" sementara pada bagian atasnya nampak jelas pula sebuah tiara terdiri dari lima buah pintu gerbang benteng.

Yang terakhir ini benar-benar menarik perhatian kita dan mengingatkan kita pada benteng kuno yang pernah mengeliling kota Semarang terbuat dari batu bahkan menurut van Swieten "van pallissaden met planken wals gewijze bezet waren" - /bertatahkan pallisade dengan dinding yang terbuat dari papan".

Yang dimaksud dengan "pailisade" atau "cerucuk"' ialah tiang-tiang yang lancip dan tebal, di mana sejumlah dari padanya dengan sengaja telah dibuat berjajar rapat, digunakan untuk keperluan perlindungan.

Nah. apakah tiara yg dapat kita lihat berada sebagai mahkota lambang kuno kota Semarang itu tidak di maksudkan, sebagai memori peringatan terhadap pernah adanya benteng kuno yang pernah mengelilingi kota Semarang: "van pallissaden met planken wals gewijze, bezet. waren" sebagaimana dikemukakan oleh van Swieten? Pertanyaan semacam itu, sekalipun sangat menarik, sudah terang tidak bisa dijawab dengan pasti.

Dari karya D, Rhul Jr "De Nederlandsche Gemeen tewapens. Geschiedenis. legende en besluiten" (1934) kita hanya dapat mengetahui bahwa lambang kuno kota Semarang itu ternyata mempunyai latar belakang sejarah yang cukup unik, yaitu bahwa lambang tersebut telah dipersembahkan oleh Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies sebagai kenangan atas kesetiaan, pengabdian dan kepahlawanan pasukan-pasukan dan para sukarelawan dari Semarang dalam Perang Diponegoro (1825— 1830) yang telah berulang kali menunjukkan keperwiraan mereka - diantaranya seperti yang terjadi pada bulan September 1825. dimana dari 20 orang sukarelawan yang berkuda ternyata 12 orang telah menemui ajalnya.

Hal itu dilakukan dengan suatu besluit yang dikeluar kan pada tgl. 29 Mei 1827 Nr. 20. Dan dengan sedikit perubahan lambang kuno kota Semarang itu masih terus dipakai hingga berakhirnya masa penjajahan Belanda di Nusantara.
Lanbang Kota Semarang

Nama Baru di Pecinan


 Tang Kee (Gang Pinggir)

Sekitar tahun 1830 di kota Semarang juga sudah terdapat sebuah rumah sakit. Letaknya sekarang ini berada di kompleks gedung susteran Gedangan. Rumah sakit itu kemudian dibeli oleh missi Katholik, dan sebagai gedung rumah sakit yg baru kemudian digunakan gedung bekas sekolah militer Semarang, terkenal dengan nama Militer Hospital artinya Rumah Sakit Militer yang sekalipun namanya Rumah Sakit Militer namun ternyata dalam prakteknya juga menerima pasien dari orang partikelir baik yang bertempat tinggal di kota Semarang maupun di daerah daerah sekitarnya.

Sementara itu tempat-tempat pemukiman yang terletak di luar kota Semarang (buiten wijken) kian lama juga kian nampak berkembang. Daerah Poncol sebelah selatan yang membentang antara Gendingan dengan jalan Tanjung misalnya demikian juga daerah Belakang Kebon Depok, daerah Bojong sebelah barat mesjid besar Semarang, daerah Plampitan dan Wotgandul Selatan, kampung Melayu dan Pindrikan begitu pula daerah Peloran sebelah barat terutama daerah Baterman dan Kelengan pada waktu itu sudah merupakan tempat pemukiman.

Khusus mengenai daerah yang terakhir ini. pada waktu itu kita bahkan mencatat suatu peristiwa yang tidak kurang pentingnya bagi sejarah kota Semarang, yaitu bahwa pada waktu itu ternyata jalan-jalan dan daerah-daearah yang terletak di tempat tersebut telah banyak yang diganti namanya, dari nama-nama. Tionghoa menjadi nama-nama Melayu. Demikianlah misalnya daerah Pecinan Utara yang pada masa sebelumnya dise but Along-kee telah diganti namanya menjadi Gang Warung. Sin-kee menjadi Gang Baru. Hoay-kee menjadi Gang Cilik dan Ting-auw-kee menjadi Gang Gambiran mengingat pada waktu itu di tempat itu memang ada gudang gambir (Liem Thiam Yoe, Opcit)

Sudah barang tentu perubahan nama itu tidak bisa berjalan dengan cepat dan lancar. Seperti halnya orang sekarang, pada masa itupun ternyata orang tidak begitu mudah melepaskan nama-nama tempat yang lama, yang telah terlanjur populer. Tidak heran jika seperti halnya pada masa sekarang, pada waktu itu kita juga menjumpai kenyataan bahwa untuk jangka waktu yang cukup lama, di samping menyebut nama jalan atau “wijk" yang baru untuk memudahkan diri orang juga masih perlu untuk menyebut nama jalan atau "wijk'' yang lama sekaligus.

Hal itu dengan jelas misalnya dapat kita lihat dalam iklan-iklan yang termuat dalam harian "De Locomotief" pada kira-kira tahun 1860-an. Seperti misalnya sebuah iklan yang dapat kita jumpai terpasang pada hari Senin tgl 29 Augustus 1864 yang  mengabarkan mengenai bakal dilelangnya: "Een erf bebouwd met een Steenen Huis met Pannen gedekt gelegen in de Chineesche Kamp te Samarang aan de Oostzijde van den starrt Saijkee of Passaar.-Baroe, Wijk la N. NO. 822". "Sebidang tanah yang telah dibangun dengan sebuah Rumah Batu, terletak di Pecinan Semarang di sebelah timur dari jalan Saijkce atau Passaar-Baroe, -Wijk la N. NO.882". Dari iklan itu jelas sekali bahwa untuk memudahkan diri, di samping nama yang baru Passaar-Baroe.-orang masih perlu menyebutkan sekaligus Saijkee sebagai nama yang lama.

Kadet

Tentang sekolah militer Semarang ini kita merasa beruntung bisa mendapatkan bahan-bahan yang lumayan dalam sumber-sumber sejarah Belanda. Dari sumber-sumber itu dapat kita ketahui diantaranya bahwa sekolah militer Semarang itu ternyata telah didirikan dengan suatu besluit dari para komisaris Jendral yang pada waktu itu merupakan suatu majelis yang memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan Belanda di Nusantara. Besluit itu tercantum dalam Staatsblad tahun 1818 Nr. 13 dan 17
 
Adapum maksudnya pendirian ialah untuk para pemuda agar bisa menjadi perwira dan pasukan yang ada di Hindia Belanda, selanjutnya menjadi perwira dari angkatan laut, sebagai petugas dari jawatan pengairan dan pengukur tanah . Ketika pertama kali dibuka pada tgl 10 Agustus 1818, sekolah itu mempunyai 73 orang murid yang uniknya kecuali menerima pelajaran dari berbagai macam, juga menerima pelajaran dalam bahasa Jawa dan Melayu yang untuk keperluan tersebut dengan  sengaja  telah diangkat  dua  orang  guru khusus.

Diantara 93 orang murid yang pernah bersekolah  di tempat itu,menurut catatan ternyata 67 orang dari pada nya telah berhasil menjadi perwira, sementara tiga orang bahkan telah bisa  mencapai pangkat yang sangat tinggi: menjadi "Generaal Majoor" (Tijdschrift van Nederlamlsch Indie, 1880).
Sayang, karena alasan "penghematan keuangan" semenjak tahun 1825 sekolah militer itu telah menyatakan diri tidak menerima lagi murid baru dan dengan Staatsblad tahun 1826 Nr 41 dinyatakan bahwa sekolah militer Semarang tsb, terhitung mulai dari tgl 1 September 1826 telah dihapuskan dan tempatnya digunakan untuk memberi pelajaran bahasa Jawa dan Melayu.

Ada suatu episode yang menarik yang saya kira perlu dicatat mengenai sekolah militer Semarang itu, yakni bahwa sekolah kejuruan tersebut ternyata tidak bisa dilepaskan  dari sejarah lahirnya perkataan "kadet", suatu perkataan yang khas Semarangan itu.

Menurut keterangan yang dapat kita jumpai dalam buku Liem Thian Yoe "Riwayat Semarang" (1931 - 1933) perkataan "kadet “ yg terkenal itu sebenarnya ada kaitannya dengan riwayat sekolah marine yang pernah didirikan di Semarang, yakni di jalan. Perkutut, tidak Jauh dari kantor pabrik rokok "Prau Layar". Keterangan semacam itu sebenarnya merupakan suatu kekhilafan, karena seperti ternyata dari sebuah artikel yang termuat dalam "Algemeen Handelsblad van Ned. Indie" yang terbit pada tahun 1931 perkataan "kadet" yang sangat masyhur dan benar-benar "aseli" Semarang itu sebenarnya justru tidak ada hubugannya dengan riwayat sekolah marine, melainkan sebaliknya justru erat sekali kaitannya dengan riwayat sekolah militer Semarang.

Awal mula kelahiran per kataan "kadet" itu ialah demikian: Pada waktu itu para kadet (pelajar) dari sekolah militer tersebut kalau pergi ke pasar atau ke warung-warung yang ada di dekat sekolah. Mereka sering makan tanpa bayar. Karena kebiasaan tersebut, para pedagang yang ada di pasar itu lalu berusaha untuk mengadakan seorang penjaga dengan tugas memberi tahu kepada mereka kapan para kadet dari sekolah militer itu datang. Demikian lah tiap kadet-kadet itu datang ke pasar, penjaga itu lalu memberi kode dengan mengatakan "kadet-kadet", hingga para pedagang itu dengan cepat bisa mengemasi dan menyimpan barang-barang dagangannya. Semenjak saat itu dan dengan kejadian itu perkataan “kadet" akhirnya menjadi suatu perkataan yang sangat populer dan memperkaya perbendaharaan kata bahasa Indonesia di Se marang digunakan dalam arti khusus yang sangat menyimpang dari arti aselinya, yakni sebagai "tukang ngemplang''.

Pabrik Rokok Prau Layar

Paradeplein

  Parade Plein

Di samping telah memiliki gedung Balai Kota, perlu juga dicatat bahwa pada masa itu hingga sekitar tahun 1830 di dalam kota Semarang juga sudah terdapat dua buah gereja. Yaitu sebuah gereja Protestan - gereja Imanuel alias gereja Blenduk dan yang sebuah lagi gereja Katholik yang pada masa itu masih menempati sebuah rumah tempat kediaman biasa yang terletak di jalan Raden Patah. tidak jauh dari gereja Blenduk.. Menurut penuturan A.H Pias gedung gereja Katolik itu ternyata telah dijadikan  toko pada tahun 1894 dan terbakar disambar api, tidak ubahnya dg nasib yang pernah dialami oleh Balai Kota Semarang yang lama (Plas A, H. Van t oude Semarang en t verjongde Semarang. Termuat dalam majalah Eigen Haard 1911).
 
Pada masa itu baik gereja Protestan "Imanuel" mau pun gereja Katholik yang pertama di kota Semarang itu sama-sama terletak di suatu kawasan yang pada masanya disebut “Paradeplein” artinya “Lapangan Parade” suatu nama yang masih terus dipergunakan hingga masa-masa terakhir tempo doeloe.

Sesuai dengan namanya. tempat itu pada zaman kompeni memang dipergunakan sebagai tempat untuk mengadakan parade dan nama ini seperti halnya dengan nama-nama Westerwalstraat, Zuiderwalstraat. Oosterwalstraat dan Noorderwalstraat, jelas menunjukkan pula bhw pada waktu itu daerah yang dinamakan  "kota Semarang" sebenarnya dulunya merupakan suatu "vesting", yakni satu tempat kediaman yang diperkuat atau suatu benteng (Swieten, Th. van Wande link door Semarang. Artikel termuat dalam majalah Berichten St, Claverbond 1901).

Dari "Paradeplein" baik-lah kita menuju ke jalan Mpu Tantular, khususnya menuju ke bagian dari jalan itu yang merentang mulai dari simpang tiga jalan Mpu Tantular dan jalan. Sleko menuju ke jalan. Kebon Laut. Di tempat itu sekarang ini kita masih dapat menyaksikan suatu bangunan yang cukup besar ditempati oleh Direktorat Jendral Kehutanan - Direktorat Perlindungan Dan Pengawetan Alam Semarang serta P.K.P.N. Kota Semarang. Melihat bentuknya gedung itu sepintas lalu memberi kesan bahwa dulunya merupakan sebuah bekas gedung sekolah. Dugaan semacam itu memang benar. Menurut berkas-berkas lama, gedung itu dulunya memang merupakan sebuah gedung sekolah bagi anak Belanda, bahkan merupakan gedung sekolah pertama bagi anak orang Belanda di Semarang. didirikan pada tahun 1823.

Tidak jauh dari sekolah umum bagi anak-anak Belanda itu, tepatnya di seberang utara dari kantor pos Semarang, atau lebih tepatnya lagi di kompleks kantor inspeksi pajak Semarang, pada isyarat itupun sebenarnya kita juga masih bisa menjumpai suatu tempat pendidikan lagi. Hanya saja bukan merupakan sebuah sekolah umum melainkan sebuah sekolah kedinasan, yakni sekolah militer.

Gedung kantor inspeksi keuangan Semarang yang lama sebenarnya adalah gedung bekas gedung sekolah militer tersebut. Sebelum ditempati oleh sekolah militer itu, gedung itu sendiri merupakan gedung tempat tinggal yang resmi dari gubernur pantai utara dan timur pulau Jawa, yang seperti telah kita ketahui pada masanya telah diberi nama "abhiseka" yang sangat indah, yakni "De Vrijheid" alias "Istana Merdeka". Namun hal itu tidak berlangsung lama. Sejak awal abad ke-19, gubernur pantai utara dan timur pulau Jawa menempati sebuah istana baru yang terletak di akhir jalan Bojong, yang seperti telah kita singgung di muka dinamakan "Vredestein" alias "Istana Merdeka". Karena kepindahan itu, bekas tempat kediaman yang lama kemudian dipergunakan sebagai sekolah, yakni sekolah militer tersebut di atas.

Gedung Papak dan Be Soe Ie

Mengenai sejarah Balai Kota Semarang itu dapat dikatakan bahwa Balai Kota Semarang itu sebenarnya sudah lama didirikan. Sudah ada semenjak tahun 1787. Pada tahun 1804 atau 1805 gedungnya diganti dengan gedung yang baru. Sayang gedung Balai Kota Semarang yg baru itu pada tgl 4 Oktober 1850 atau 1851 telah terbakar disambar api (Boeboom H. Nota Bij Semarang's Oude Kaarten 1904). Dari mana datangnya api itu tidak diketahui. Yang pasti kebakaran itu menelan musnah banyak arsip-arsip kuno yang sebenarnya sangat penting artinya bagi sejarah kota Semarang. Karena kebakaran itu banyak bagian dari sejarah kuno kota Semarang terutama dari periode zaman kompeni hingga sekarang masih gelap dan bukan mustahil akan tetap dan merupakan terra incognita selama-lamanya

Menurut H. F.Tillema dalam  bukunya yg sangat terkenal "Kromo blanda, Over  vraagstuk van  "het wonen" in Kromo's groote land" jilid V”, sebelum terbakar sebenarnya Balai Kota Semarang tersebut merupakan suatu bangunan yang boleh dikatakan "adiluhung dan "merak ati" - een eerwaar dig gebouw - di mana bagian dalamnya dipergunakan sebagai tempat penjara sementara bagian atasnya telah dipergunakan sebagai tempat untuk urusan pengadilan dan kepolisian.

Tiga tahun setelah Balai Kota Semarang itu terbakar kira-kira pada tahun 1853 atau 1854 kita melihat adanya usaha-usaha untuk membangun sebuah gedung Balai Kota Semarang yang baru, yang terletak di seberang barat dari Jembatan Mberok, di mana sekarang berdiri kantor KBN. Setelah selesai, gedung Balai Kota Semarang yang baru itu ternyata merupakan suatu bangunan yang sangat luas dan berbentuk segi empat, jauh lebih indah dari gedung Balai Kota yang lama.

Pada waktu itu masyarakat umum menyebut gedung Balai Kota Semarang yang baru itu "De Groote Huis" alias "Istana Agung”. Namun mengingat gedung tersebut, sebenarnya adalah gedung "kantor" Residen, gedung itu oleh khalayak ramai juga lazim disebut se bagai "residentie kantoor" atau "kantor keresidenan". Masyarakat Semarang sendiri lebih suka menyebutnya "Gedong Papak" karena bentuknya memang “papak", dan sebutan itu terus dipakai lama sekali hingga masa kemerdekaan, bahkan lebih tepatnya lagi hingga gedung itu musnah terbakar disambar api pada tangal 30 Nopember 1954 jam 01:15 malam.

Menurut Liem Thian Yoe pada tahun 1877 di Pecinan Semarang pernah hidup seorang "pach ter gade" Tionghoa bernama Be Soe Ie. Pada waktu itu dia telah merombak tempat tinggalnya yang pada waktu itu sekaligus juga telah di gunakan olehnya sebagai rumah gadai, menjadi suatu bangunan "dibikin zonder woewoengan" Jadi bagian atasnya dibuatnya rata, untuk digunakan sebagai tempat penjemuran barang-barang yang telah digadaikan orang ke padanya, dengan harapan “soepaya gampang bikin penilikan dan tiada gampang ilang seperti kapan didje moer ditanah". Oleh para  penduduk pada waktu itu rumah"pacter gade" itu lalu disebut "gedong papak."

Tetapi, penguasa di Semarang rupanya tidak senang pada perbuatan Be Soe Ie tersebut. Selang beberapa bulan setelah bangunan itu selesai didirikan, rumah gedung besar yang terletak di Gang Pinggir mau tidak mau harus dirombak karena dianggap meniru gedong negeri atau kantor besar (residentie kantoor). Selain itu itu menurut Liem Thian Yoe, rumah itu selanjutnya di robohkan dan diganti dengan bangunan yang memiliki wuwungan. Sementara Be Soe Ie sendiri  kemudian telah didenda sebagai pelanggaran karena meniru gedong negri".

Gedung Papak

Istana Perdamaian

Kita telah membicarakan mengenai pembongkaran dinding kuno kota Semarang yang dilakukan  oleh para penguasa. Belanda di kota Semarang pada tahun 1824. Juga telah kita bicarakan mengenai wajah baru kota Semarang yang muncul tidak begitu lama setelah pembongkaran dinding kuno yang sangat penting artinya bagi sejarah kota Semarang itu.

Di samping itu juga telah kita bicarakan bahwa pada waktu itu ternyata kota Semarang masih merupakan suatu istilah yang mempunyai pengertian khusus dimaksudkan untuk menyebut sepesial daerah tempat tinggal orang Belanda saja yang pada waktu itu terletak di seberang timur dari jembatan Mberok. Adapun daerah-daerah lain yang terletak di luar tempat tinggal orang-orang Belanda itu, sekalipun letaknya sangat berdekatan dengan tempat pemukiman itu misalnya Alun-alun, pada waktu itu secara  resmi masih harus disebut  sebagai daerah yang terletak di luar kota Semarang alias ”buitenwijken”. Jadi persis tidak ubahnya dengan keadaan pada zaman kompeni dahulu.

Sekarang baiklah kita lanjutkan dengan rnembicarakan bagaimana keadaan kota Semarang dan beberapa daerah di sekitarnya pada waktu itu hingga kira-kira sekitar tahun 1830-an. Pada waktu itu Semarang sudah tidak lagi menjadi tempat  kedudukan dari seorang gubernur jenderal. Semenjak akhir masa penjajahan Inggris jadi semenjak tahun 1816 jabatan gubernur pantai utara dan timur pulau Jawa yang pada masa sebelumnya pernah dikenal dan berkedudukan di Semarang telah dihapuskan. Sebagai gantinya di Semarang kemudian ditempatkan seorang residen (De Groote' Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, hal 1102).

Sebagai tempat kedudukannya pada waktu itu residen Semarang tidak menempati suatu bangunan yang terletak di dalam kota Semarang melainkan justru menempati suatu istana besar yang terletak di akhir jalan. Bojong jadi bertempat tinggal di suatu kawasan yang terletak di daerah luar kota Semarang alias ''buitenwijken" yang sebelumnya pernah di gunakan sebagai tempat ke diaman resmi dari gubernur jenderal pantai utara dan timur pulau Jawa, kemudian menjadi APDN dan kemudian menjadi rumah dinas Gubernur.

Sebagai tempat kediaman resmi residen Semarang pada waktu itu tempat tersebut masih terkenal dengan nama abhiseka lama yang diberikan ketika tempat  itu diresmikan menjadi tempat kediaman resmi dari gubernur pantai utara dan timur pulau Jawa yakni Vredestein alias Istana Perdamaian.

Pada waktu itu kota Semarang juga sudah mempunyai sebuah Balai Kota atau istilahnya pada waktu itu 'Stadhuis'. Letaknya sekarang berada di jalan. Branjangan di tempat di mana pernah berdiri kantor percetakan PT. Karya Nusantara.

Istana Perdamaian

Kota Baru Semarang


 Benteng Kota Semarang

Sejak zaman kompeni orang-orang Belanda di Semarang sebenarnya telah bertempat tinggal di suatu kawasan yang terletak di seberang timur dari jembatan Mberok yang pada masa itu dikelilingi oleh sebuah pagar yang berbentuk segi enam, terbuat dari cerucuk dengan pagar dinding yang terbuat dari papan (Swieten. Th. van.Wandeling door Semarang. Berichten St. Claverbond. 1901).
 
Dari sebuah peta kuno yang tersimpan dalam Rijks-archiefs Gravenhage Nederland dapat kita ketahui bahwa tembok keliling itu ternyata cukup panjang juga alur rentangannya, mulai dari Jalan. Mpu Tantular yang terletak di sebelah kanan dari Jembatan Mberok ke arah Utara menuju ke arah Jalan Kebon Laut, kemudian belok ke JaIan. Merak terus ke arah Timur, selanjutnya belok ke arah Selatan terus ke JaIan. Cendrawasih. kemudian berputar ke arah Barat membentang sejajar dengan garis lurus menyusuri Jalan Kepodang dan akhirnya belok lagi ke arah utara bersepanjang dengan JaIan Mpu Tantular.
 
Di sebelah luar dari tembok keliling itu kita jumpai parit yang dengan sengaja telah dibuat mengelilingi pagar tersebut dan pada waktu itu lazim dinamakan parit dinding sebelah utara, parit dinding sebelah timur, parit dinding sebelah selatan dan parit dinding sebelah Barat (Swieten Th. van. op-cit).
 
Pagar keliling itu juga. mempunyai tiga buah pintu gerbang besar yang harus di lalui oleh mereka yang ingin memasuki tempat pemukiman orang-orang Belanda yang pada waktu itu dinamakan pintu gerbang gupernemen (Gouverncmentspoort), pintu gerbang sebelah selatan dan pintu gerbang sebelah timur. Menurut van Heuven, pada waktu itu pintu gerbang yang secara resmi dinamakan pintu gerbang gupernemen tersebut letaknya berada di sebelah barat dari jembatan Mberok yang pada masa itu dinamakan “Gouvernemenantsbrug” alias jembatan gupernemen. Sedangkan pintu gerbang sebelah selatan-nya terletak kira-kira di jalan lintasan kercta api pada awal jln. Pekojan   jadi sekarang ini kira2 terletak tidak be-gitu jauh dari Panin Bank, — sementara pintu gerbang sebelah Timurnya terletak di akhir Jalan. Raden Patah di Jalan. Karang Bidara (Heuven. G. B. J. van.lets over oud.Semarang. Indische Gids. 1932).
 
Di samping itu, tembok keliling tempat kediaman orang-orang Belanda itu juga masih mempunyai lima buah pos penjagaan, yakni pos penjagaan laut atau de Zee-punt yang terletak tidak jauh dari sebelah barat Tawang, pos penjagaan Smids yang terletak di kali dekat Boom lama, pos penjagaan De Liere yang paling jauh terletak di bekas kantor pos Semarang yang pertama (di dekat ujung Jalan. Kepodang), pos penjagaan Amsterdam yang terletak di sebelah Timur dari stasiun Sentral dan akhirnya pos penjagaan De Hersteller yang terletak di siku jalan antara Jalan. Ronggowarsito dan Tawang.
 
Pada waktu itu yang dinamakan kota Semarang tidak lain ialah tempat kediaman orang Belanda yang berada di dalam lingkungan tembok keliling itu. sedangkan daerah-daerah lain yang terletak di sebelah luarnya, misalnya Alun-alun Kauman dan Pecinan, pada waktu itu secara resmi disebut daerah yang terletak di luar kota Semarang.
 
Jadi pada masa itu apa yang dinamakan kota Semarang merupakan sebuah kota yang memiliki tembok keliling, tidak ubahnya dengan kota Tuban dalam abad 14 atau 15, yang tercatat juga pernah memiliki tembok dinding yang semacam itu, yang terbuat dari batu dan menurut penuturan orang-orang Rembang konon telah dibangun oleh seorang  waliullah yang bernama Sunan Pejagung, seorang kerabat dari Sunan Bonang (Schrieke.B.J.O. Het Boek van Bonang.1916). Sayang seperti halnya kota Tuban. akhirnya Semarang telah kehilangan pagar antiknya.
 
Pada tahun 1824. jadi dua tahun sebelum Semarang di goncangkan oleh geger Diponegoran, benteng semarang itu lengkap beserta pos-pos penjagaannya dan pintu-pintu gerbangnya ternyata telah dibongkar oleh penguasa Belanda, dimusnahkan dan dihancurkan sama sekali, hingga pada pertengahan abad ke-19 orang tidak bisa lagi menemukan bekasnya. Demikian lebih kurang pernah dikata kan oleh A. H. Plas dalam artikelnya Van 't oude Semarang en 't verjongde Semarang (Historische-Ethnographische schets) termuat dalam majalah Eigen Haard tahun 1911).
 
Satu-satunya peringatan yang mungkin bisa membawa orang teringat pada benteng kota Semarang pada orde Lama ialah nama-nama jalan Noorderwalstraat. Westerwalstraat. Zuiderwalstraat dan Oosterwalstraat. Nama-nama itu secara harfiahnya berarti jalan. dinding sebelah Utara, Jalan. dinding sebelah Selatan dan jalan. dinding sebelah Timur. Sekarang jalan-jalan itu namanya jalan.Merak, jalan. Mpu  Tantular, jalan. Kepodang dan jalan Cendrawasih. Nama-nama jalan tersebut benar-benar merupakan peringatan kesejarahan bahwa pernah ada dinding dari sebuah benteng kuno yang pernah mengelilingi kota Semarang. (Cf. Kuiper. K.G. Oud En Nicuw Semarang. Tropisch Nederland. 1934 - 1935).
 
Namun sementara Semarang telah kehilangan jejak masa lalunya yang sangat berharga, tidak lama setelah peristiwa itu. di seberang Timur dari kali Semarang, kita justru melihat munculnya suatu kota baru, yang memberi kesan old Semrang sebagai kota kecil. Dengan lorong-lorang jalan yang sempit dan tiada teduh, dengan rangkaian bangunan rumah yang sambung-menyambung.
Itulah kota Semarang yang baru, sementara daerah lain di luar nya masih tetap dianggap sebagai daerah luar kota. Misalnya daerah pantai laut dan demikian pula misalnya daerah Bojong, Belakang Kebon dan Poncol. Semua daerah-daerah itu, pada waktu itu secara resmi masih merupakan “buiteniiwijken" atau daerah di luar kota Semarang (Tillema H.F,.Kromoblanda. Over 't vraagstuk van ,,het wonen" in Kromo's groote land. Deel V.).

Kelenteng Sebandaran


Interior Kelenteng Tan
 
Sebuah peristiwa penting lain yang perlu dicatat dlm sejarah Semarang yang ter-jadi pada masa penjajahan Inggeris ialah pembubaran sekolah artileri di Semarang. Seperti diceritakan pada tahun 1782 di Semarang telah didirikan sekolah angkatan laut atau sekolah marine, dimaksud untuk memberikan pendidikan mengenai pelayaran, artileri. Pendirinya ialah gubernur Johannes Siberg. Jalan hingga dulu masih dinamakan "Marinestraat".
 
Ketika Daendels menjadi gubernur jenderal ternyata dia telah mengambil prakarsa mengubah sekolah tsb menjadi sekolah artileri, diantaranya. berdasarkan pertimbangan bahwa kebanyakan para pelajarnya tarnyata tidak banyak mendapatkan manfaat dari pelajaran yang telah diterimanya disebabkan karena tidak sempurnanya pengetahuan yang telah disediakannya (Plas AH opcit).
 
Namun sekolah artileri Semarang itu ternyata tidak berlangsung lama. Menjelang tanggal 1 Oktober 1812 pemerintah Inggris telah mengambil keputusan untuk membubarkan sekolah kejuruan itu. Apa alasannya tidak di ketahui dengan pasti. Mengenai hal ini Dr. I.J Brugmans pernah menerangkan bahwa pembubaran itu kemungkinan karena pemerintah Inggris tidak suka pada pendidikan tersebut, yang mendidik orang-orang yang berasal dari percampuran darah menjadi para perwira. (Brugmans. I.J Geschiedenis Van Het Onderwijs In Nederlandsch-Indie 1938). Namun sampai di mana kebenaran keterangan Dr. I.J Brugman ini tidak bisa kita pastikan.
 
Pada tahun 1814 di kalangan masyarakat Tionghoa di Semarang telah terjadi suatu peristiwa yang cukup bersejarah. yakni pendirian kelenteng baru di sebelah barat jalan Sebandaran. Pendirinya yalah Tan Tiang Tjhing, yang pada masa itu merupakan seorang saudagar Tionghoa yang hartawan.
 
Kelenteng itu dipergunakan untuk memuja Tjiang Sing Ong. Siapa yang dinamakan Tjiang Sing Ong itu dapat kita ketahui riwayatnya dari sebuah inskripsi yang terdapat di dalam kelenteng itu. Menurut inskripsi tersebut pada zamannya Song Tiauw hiduplah   seorang bernama Tan Goan Kong yang telah berhasil membuat para penduduk yang bertempat tinggal di daerah Tjiang-tjioe yang pada waktu itu masih belum mengenal kesopanan menjadi masyarakat yang bertobat dan berhasil pula menjadikan daerah Tjiang-tjioe itu menjadi suatu daerah yang makmur. Karena jasanya dia kemudian dinamakan Khay Tjhiang Sing Ong.
 
Karena dipergunakan untuk memuja Tjhiang Sing Ong, kelenteng yang didirikan oleh Tan Tiang Tjhing itu kemudian disebut klenteng Tjhiang Sing Ong. Namun karena kelenteng itu sebenar nya milik dari famili Tan dan  didirikan untuk kepentingan famili Tan, kelenteng Tjhiang Sing Ong itu kemudian juga dinamakan klenteng Tan Sing Ong (Liem Thian Joe Riwayat Semarang. 1931 - 1933).
 
Akhimya perlu dicatat bahwa untuk menutup kekurangan keuangannya gubernur Jenderal Raffles telah mengambil  beberapa tindakan, diantaranya menjual tanah2 pada orang-orang partikelir khususnya pada  orang2 Inggris.

Diantara tanah yang dijual itu terdapat sejumlah tanah di daerah Semarang diantaranya di jalan Mataram tidak jauh dari kampungnya Kyai Bustam. Setelah jatuh tangan seorang Inggris tuan tanah Inggris itu ternyata telah membuat diatas kawasannya sebidang pertamanan yang indah Karena peristiwa ini. Setelah tempat tersebut kemudian menjadi kampung, orang-orang menyebutnya Bon Inggris berasal dari perkataan Kebon Inggris yakni kebonnya orang Inggris. Tetapi nama ini di belakang hari ternyata dianggap terlalu sukar untuk diucapkan. Untuk mudahnya orang pada waktu itu kemudian lebih suka menyebutnya Bang Inggris hingga sekarang.

Kyai Bustam

Kyai Bustam

Pada waktu orang-orang Inggris mulai menyusun tata pemerintahannya di Semarang yang menjabat sebagai bupati di Semarang pada masa itu yalah Suro Adimenggolo V. Orang-orang Inggris ternyata tidak suka pada bupati Semarang itu. Dia kemudian dibuang ke Pasuruan dan meninggal di tempat pembuangannya itu.
 
Sebagaj bupati Semarang yang baru orang lnggris kemudian mengangkat seorang cucu dari Kyai Ngabehi Surodirjo yang pernah menjadi bupati Batang dan meninggal pada zaman Daendels.
 
Kyai Bustam adalah seorang tokoh yang cukup terkenal dalam sejarah tanah Jawa. Namanya disebut sebagai seorang "jurubasa" yang turut memegang peranan yang  cukup penting dalam ' Babad Giyanti". Kyai Bustam memang seorang "jurubasa". Karirnya dimulai ketika dia berhasil  mengabdi pada kompeni Belanda sebagai seorang penterjemah dan "interpretator" dgn pangkat "ngabehi" di Surabaya. Sebagai seorang pejabat Kyai Bustam ternyata sangat setia kepada tuannya. Kesetiaan nampak jelas ketika di Jawa pecah pemberontakan Tionghoa. Sementara para pejabat pribumi pada waktu itu telah beramai-ramai menyebrang pada Kanjeng Sunan di Kartasura atau ikut bergabung pada para     pemberontak Tionghoa, Kyai Bustam tetap  setia kepada  kompeni Belanda. Kyai   Bustam merupakan satu-satunya pejabat pribumi yang pada waktu itu telah berbuat   demikian.
 
Tidak heran jika karena hal itu setelah kompeni Belanda berhasil menumpas pemberontakan Tionghoa tersebut, Kyai Bustam kemudian diberi hadiah sebidang tanah yang luas yang pada waktu itu berada di dekat 'kota'' Semarang, dan yang kemudian dengan mengambil namanya dinamakan kampung Bustaman, hingga masa sekarang ini. (Baharudin Marasutanfi. Raden Saleh 1807 - 1880. 1973)
 
Kyai Bustam juga turut memberikan andilnya dalam Perjanjian Gianti (I755), dengan perjanjian mana kemudian lahir kesultanan Yogtyakarta.
Kyai Bustam telah membuat banyak jasa pada kompeni Belanda. Tidak heran jika akhirnya dia sampai bisa diangkat menjadi "onder regent” di daerah Terboyo di dekat Kaligawe terkenal dan  termasyhur hingga akhir hayatnya dengan nama Kyai Ngabehi Kertoboso Bustam (1681-1759)
 
Apa dasarnya orang Inggris justru mengambil cucu dari Kyai Ngabehi Kertoboso Bustam tersebut seorang yang dengan penuh kesetiaan telah mengabdikan dirinya hingga akhir hayatnya pada kompeni Belanda menjadi bupati di Semarang tidak kita ketahui dengan pasti. Sumbe-sumber Belanda tidak banyak memperbincangkan mengenai hal ini.
 
Dari sumber itu kita justru mengetahui suatu keterangan yang banyak menarik perhatian yaitu sekalipun keluarga Kyai Bustam sama sekali tidak mempunyai hubungan darah dengan keluarga Suro Adimenggolo, sebagai bupati di Semarang ternyata cucu Kyai Bustam itu telah menggunakan nama Raden Adipati Suro Adimenggolo. Bagi orang Jawa di Semarang hal itu sudah terang sulit untuk diterima. Tidak heran jika sekalipun "de jure" dia menamakan diri nya Raden Adipati Suro Adimeggolo, namun rakyat Semarang pada waktu itu lebih suka menyebutnya Kanjeng Terboyo.
 

Semarang di Jaman Rafles


 Kantor Residen

Tidak lama setelah Inggris berhasil merebut daerah jajahan Perancis di Indonesia, mereka segera menyusun tata pemerintahan di daerah Semarang. Kota ini pada masa penjajahan kompeni Belanda pernah menjadi suatu kawasan yang sangat penting,   sebagai Ibukota propinsi pantai utara dan timur pulau Jawa.
 
Mereka segera mendirikan tempat-tempat kediaman di Candi Lama. Menurut sumber-sumber sejarah Belanda, pada waktu itu tak ada bangsa lain yang bertempat tinggal di daerah tersebut kecuali bangsa Inggris!

Sebagai kantor-kantor pemerintahan mereka, orang-orang Inggris itu tetap mengguna kan bangunan-bangunan bekas kantor pemerintahan Belanda yang terletak di Semarang Bawah, yakni di seberang timur dari Jembatan Mberok, yang pada masa penjajahan kompeni Belanda merupakan suatu kawasan yg disebut "kota Semarang". Untuk menuju ke kantor-kantor itu, mereka harus mengadakan perjalanan yang cukup jauh, pada waktu itu makan waktu kira-kira dua jam (Ruckert. Semarang Oud En Nieuw. Indie 1914).

Pada waktu itu di Semarang di tempatkan seorang residen. Sebagai tempat kedudukannya, residen Inggris pada waktu itu menempati sebuah bangunan besar yang terletak di akhir Jalan Bojong, yang sekarang masih dapat kita saksikan di pergunakan sebagai rumah dinas gubernur atau sebelumnya sebagai tempat kantor Akademi Pemerintahan Dalam Negeri.

Bangunan itu sendiri tidak didirikan oleh orang Inggris Pendiri bangunan tersebut sebenarnya ialah Nicolaas Hartingh yang pernah menjabat sebagai gubernur pantai Utara dan Timur pulau Jawa di Semarang antara tahun 1754 - 1761 (Stein, metz. C. Cultureele Gegevens Uit Familipapieren. Van Trouwen En Sterven Onder De Compagnie. Dalam Bloemlezjng Uit Cultureel Indie. 1948).
 
Sebelum digunakan sebagai tempat kedudukan residen Inggeris, gedung besar itu sebenarnya merupakan tempat kedudukan resmi dari gubernur pantai utara dan timur pulau Jawa. Hal itu berlangsung sedari awal abad ke 19 (Plas. A. PL Van 't oude Semarang en ent verjongde Semarang I. Historische-Ethnographischp schets. 1910). Sebelumnya, gubernur pantai utara dan timur pulau Jawa menempatj sebuah gedung besar bertingkat yang terletak di seberang barat jembatan Mberok, tidak jauh dari Kantor Pos Besar Semarang sekarang ini yg pada waktu itu diberi nama perhiasan yang sangat bagus, yakni "de Vrijheid" alias "Gedung Mcrdeka."
 
Adapun gedung besar yang digunakan sebagai tempat kedudukan gubernur pantai utara dan timur pulau Jawa itu sendiri kemudian diberi  nama "de Vredestein" yang secara bebas  barangkali dapat diterjemahkan "Istana Perdamaian", suatu nama yg tidak kurang indah dan   merdunya dari nama istana gubernur yang lama,
 
Pada masa penjajahan Inggris gedung itu pernah dikunjungi oleh gubernur jenderal  Raffles dan isterinya yg pertama Olivia Mariana. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1813. Sebagai penghormatan hari ulang tahun raja Inggris, di gedung tsb kemudian   diadakan pesta rakyat disertai dansa-dansi. Kecuali para tamu, dalam kesempatan itu Raffles dan isterinya Juga telah ikut meramaikan suasana dengan berdansa bersama. (Semarang Als Industrieel, Commercieel En Cultureel Centrum, 1941).
 
Pada kesempatan tersebut "Vredestein" dihiasi dengan berbagai macam pajangan yang luar biasa indahnya. Sumber sejarah lama Belanda misalnya mem berikan pada kita bahwa da lam kesempatan tersebut "Vredestein" telah dihiasi dengan sejumlah tidak kurang dari 620.000 buah lampion. Suatu jumlah yang tidak tanggung-tanggung dan merupakan suatu rekor yang belum pernah terpecahkan dalam dunia pesta pora di ncgara kita hingga dewasa ini.

Saudagar Gula Kwee An Say


 Kelenteng Kwee Lak Kwa di Gang Pinggir

Ketika mulai memangku jabatannya Kwee Kiauw sudah tua usianya. Setelah 12 tahun memegang jabatan di Semarang dia kemudian kembali ke Batavia untuk akhirnya kembali ke negeri leluhurnya. Sebagai penggantinya kemudian ditunjuk-Kwee An Say, yang seperti halnya dengan Kwee Kiauw adalah seorang Tionghoa totok dari Hokkian (Liem Thian Joe. opcit).

Sebelum diangkat menjadi Kapiten, Kwee An Say adalah seorang saudagar yang pergi mengedarkan barang-barang dagangannya sampai ke desa-desa dan sering kali berda-gang sampai ke Ungaran, Kendal, Salatiga dan lain-lain tempat lagi. Kemudian dia merubah haluan hidupnya, dengan jalan hidup sebagai seorang saudagar gula.

Dia adalah seorang Saudagar yang murah hati dan suka memberikan pertolongan kepada sesamanya. Di samping itu dia juga mempunyai watak pandai bergaul hingga mempunyai banyak. teman dekat, diantaranya Kanjeng Bupati Semarang.

Tidak lama setelah diangkat menjadi kapiten Tionghoa di Semarang, ternyata dia telah    diminta oleh sahabatnya Kanjeng Bupati Semarang untuk membantu seorang pangeran dari Kartasura.

Adiknya Soesooenhoenan Kartasoera, yang diangkat menjadi .Adipati di Semarang telah bersepakat dengan Kompeni dan lakukan pemberontakan melawan Kartasoera, Dia minta bantuan tuan Kwee An Say. Boyolali, Salatiga dan Ungaran, tiga daerah telah diserahkan untuk didjaga oleh orang Tionghoa .Dalam ini peperangan fihak Pangeran diatas telah beruntung, hingga ia diangkat jadi raja demikian diterangkan dalam  dokumen sejarah yang pernah tersimpan dalam ruangan Kongkoan di Gang Lombok Semarang.

Melihat redaksi singkat dokumen sejarah ini dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan adindanya Susuhunan Kartasoera, yang diangkat jadi Adipati di Semarang tidak lain ialah Pangeran Puger. Pangeran Puger setelah dinobatkan menjadi raja Mataram di Semarang oleh kompeni Belanda, kemudian berusaha untuk merebut kembali takhta Kerajaan Kartasura dari tangan Sunan Kencet. Dalam rangka perebutan takhta itulah Kanjeng Bupati Semarang pada waktu itu, yakni Ki Rangga Yudawang kemudian bergelar Kyai Adipati Suro Adimenggolo I, telah minta bantuan pada Kwee An Say untuk memperkuat rombongan bala tentara dari Semarang. Permintaan itu disanggupi oleh Kwee An Say dengan "koempoelan sobatnya di Semarang, Demak, Boejaran, Kendal, Jepara dan lain  bilangan lagi sehingga djoemlah lebih dari lima ratoes orang boeat bantoe Pangeran diatas" (Liem Thian Joe.opcit).

Bantuan itu ternyata tidak sia-sia. Setelah Pangeran Puger berhasil menduduki takhta kerajaan Kartasura kembali sebagai tanda bantuan dapat harga tinggi, itu Pangeran telah memberikan satu songsong koening sebagai tanda kebesaran pada Kapitein Tionghoa, lebih djauh satu keris kuno yang bertabur permata dan satu tongkat berkepala emas (Liem Thian Joe. opcit).

Namun, menurut penuturan sementara sumber-sumber sejarah Tionghoa, Kwee En Say ternyata kemudian telah terlibat dalam pemberontakan orang  Tionghoa di Semarang.Tetapi bagaimana nasib akhir  dirinya dalam pemberontakan berdarah itu tidak diceritakan.

Bagi orang-orang Tionghoa di Semarang pada masa itu, Kwee An Say betapapun adalah seorang pahlawan  atau setidaknya seorang tokoh masyarakat yang telah banyak jasanya dan karena itu sudah sepatutnya dihormati, dikenang jasa-jasanya tidak ubahnya dengan Kwee Lak Kwa. Itu sebabnya orang-orang Tionghoa di Semarang kemudian telah memasang “siencie" nya di klenteng Kwee Lak Kwa.

Sebaliknya bagi kompeni Belanda, Kwee An Say sudah terang merupakan seorang pengkhianat. Karena penghianatan ini, setelah kompeni Belanda berhasil menumpas pemberontakan orang Tionghoa di Semarang, mereka tidak segera mengangkat seorang "Kapiten Tionghoa" baru sebagai penggantinya.

Namun hal ini tidak berlangsung lama. Terdesak oleh kepentingan perdagangan dua tahun berikutnya kompeni Belanda akhimya terpaksa mengisi kembali jabatan tersebut. Karena di Semarang di pandang tidak ada orang yang dapat dipercaya, untuk mengisi jabatan tersebut kompeni Belanda akhirnya mengambil seorang Tionghoa dari Batavia bernama Kwee Gang, yang waktu itu telah menjadi Letnan di kota tersebut. Peristiwa itu terjadi pada tanggal. 20 September 1743, dua tahun setelah berakhirnya Perang Semarang.

Khusus mengenai jabatan Kapiten Tionghoa" di Semarang pada masa itu Ong Hoe Hoe, seorang Tionghoa yang pernah mengunjungi Semarang pada tahun 1783 pernah menceritakan bahwa yang berhak memberikan keputusan untuk pengangkatan  jabatan "Kapiten Tionghoa itu adalah pemerintah di Negeri Belanda (Opmerkingen van den Chinees Ong Hoe-Hoe, gedurende zijn verlblijf  in den Indischen AirChipel Tljdschrift Van Nederlandsch Indie 1852).

Penuturan yang sama juga pernah diberikan oleh seorang penulis sejarah Tionghoa mengenai sejarah Batavia. Menurut penulis tersebut, pada tahun 1620 Pemerintah Belanda telah mengirim sebuah kapal dengan pesan khusus ke Batavia. yakni mengenai pengangkatan So Beng Kong menjadi 'Kapiten Tionghoa' di Batavia. Berdasarkan keputusan tersebut Gubernur Jenderal kemudian memberikan sebuah meterai jabatan terbuat dari emas pada So Beng Kong (Cf. Chronologische Geschienis van Batavia, door een Chinees be schreven. Tijdschrift van Nederlandsch" Indie. 1841).

Namun kedua penuturan itu sebenarnya terlalu berlebih-lebihan. Tepat seperti pernah dikatakan oleh seorang penulis Belanda penterjemah laporan perjalanan Ong Hoe Hoe, kedua penuturan tersebut semuanya mempunyai tujuan untuk menimbulkan kesan betapa tingginya bangsa Tionghoa di mata orang Belanda sehingga untuk pengangkatan seorang "Kapitan Tionghoa" saja diperlukan autorisasi dari Pemerintah  Belanda. Tetapi itu hanyalah ceritera burung saja.

Kapiten Tionghoa yang Pertama.


 Kapten Tan Thian Tjing

Bagi orang-orang Tionghoa pada masa itu, mendirikan sebuah kelenteng. dengan urunan. Dengan memberi urunan untuk mendirikan sebuah kelenteng, orang-orang Tionghoa pada masa itu mengharapkan bahwa di belakang hari mereka a kan bisa mendapatkan berkah.

Liem Thian Joe menulis sebagai berikut: Di samping itu mereka punja kepercayaan pada datoek-datoek (toapekong) oemoemnja masih besar sekali; dan dianggap tiada ada satoe per boeatan jang lebih tinggi martabatnja dari pada diri ken klenteng dan sembahjang toaptekong! Lagian marika pertjaja betoel bahwa semangkin di satoe kota banjak diriken roemah berhala, boeat pendoedoek ada djadi satoe kebaikan dan bakal mendjadi satoe berkah besar" (Liem Thian Joe. opcit).

Pikiran itu mempunyai arti besar bagi perkembangan Pecinan Semarang. Karena daerah Pecinan Semarang, sekalipun tidak merupakan suatu daerah yang luas, pada pertengahan kedua abad ke-18 memiliki tidak kurang dari lima buah kelenteng, yang dapat kita saksikan pada masa sekarang ini.

Sementara itu dari beberapa sumber sejarah dapat kita ketahui bahwa jalan-jalan utama di Pecinan Semarang tidak lama setelah daerah itu bangkit kembali dari  puing2 kehancurannya, ternyata tidak begitu banyak bertambah dengan yang dapat kita saksikan di Pecinan Semarang sekarang ini. Demikianlah misalnya Gang Pinggir, Tjap Kauw King dan Gang Warung pada waktu itu telah merupakan jalan2 yang utama di Pecinan, tidak ubahnya dengan pada masa sekarang ini

Berbeda dengan keadaan pada masa sekarang. Pada waktu itu dapat dikatakan semua jalan-jalan di Pecinan Semarang memakai nama-nama Tionghoa. Tjap Kauw King misalnya pada waktu itu dinamakan Tjien Hien Kee yg berarti jalan yang maju dan makmur sebagai simbol dari keadaan masyarakat Tionghoa pada masa itu, sementara Gang Pinggir disebut Tang-kee, sedangkan Gang Pasar Baru karena "itu tempo ada jadi tempat tinggalnya beberapa sudagar kain" lalu disebut Moa Phay Kee (Liem Thian Joe opci).

Sekarang baiklah kita bicarakan mengenai Orang-orang kaya dari masyarakat Tionghoa di Pecinan Semarang. Setelah kompeni Belanda berhasil menguasai daerah Semarang dan sekitamya dari tangan kerajaan Mataram, demi kepentingan perdagangan mereka, kompeni Belanda berusaha mengangkat seorang Tionghoa sebagai "yang dipertuan" dari seluruh masyarakat Tionghoa yang ada di Semarang dan sekitamya.

Dari dokumen sejarah yang pernah tersimpan dalam ruangan Kongkoan di Gang Lombok Semarang dapat kita ketahui bahwa orang Tionghoa yang beruntung bisa menduduki jabatan itu ialah seorang Tionghoa dari Batavia bernama Kwee Kiauw. Untuk jabatan itu dia diberi pangkat Kapiten. Menurut dokumen-dakuman sejarah tersebut peristiwa itu terjadi pada Khong Hie tahun ke II atau tahun 1672 Masehi.   Tetapi tahun ini  sebenarnya bisa kita persoalkan mengingat bahwa kompeni Belanda   sebenarnya baru menggadai daerah Semarang dan sekitarnya pada tgl. 15 Januari 1678. Berdararkan data  sejarah ini pengangkatan Kapiten Tionghoa yang pertama  kiranya sulit bisa diterima bahwa daerah Semarang itu terjadi pada tahun 1672 Masehi. Sebaliknya berdasarkan data sejarah tersebut lebih tepat peristiwa itu setelah tahun  1678 atau paling awal pada tahun 1678 Masehi.

Bagi Kompeni Belanda Kwee Kiauw sebenamya bukanlah seorang yang asing. Dari dokumen-dokumen sejarah yang pernah tersimpan dalam ruangan Kongkoan Semarang misalnya setidaknya dapat diketahui "Tatkala ia masih berdiam di Batavia bersama ia poenja soedara Djoan, ia "bantoe Compagnie atoer tempat pekoeboeran Tionghoa dan oeroesan Boendel Kamer". Berdasarkan keterangan ini wajar jika kompeni  Belanda sampai mengangkat orang Tionghoa dari Betawi itu sebagai Kapiten Tionghoa yang pertama di Semarang, yang kemudian dihormati dengan sebutan Kwee Kiauw Loo.

Kelenteng-Kelenteng Pertama

Tidak lama setelah terbakar habis sebagai akibat dari pecah nya pemberontakan orang-orang Tionghoa di Semarang yang berkobar pada tahun 1741, daerah Pecinan Semarang yang pada waktu itu masih terbatas meliputl daerah-daerah Bubakan, Pekojan, Petudungan dan beberapa daerah lain di sekitarnya telah dibangun  kembali.

Daerah Pecinan Semarang yang baru itu kian lama kian ramai lebih-lebih setelah orang-orang Tionghoa dari Gedong Batu atas perintah kompeni Belanda diharuskan pindah ke tempat tersebut, sedangkan orang-orang Tionghoa dari Tiongkok semakin banyak yang datang ke Semarang untuk mencari nafkah. Daerah Pecinan Semarang yang baru itu kian lama kian bersemarak, jauh lebih ramai dari sebelum pecahnya Perang Semarang.

Sekalipun demikian, sebagai suatu tempat pemukiman orang-orang Tlonghoa, pada waktu itu daerah Pecinan tersebut belum memlilki sebuah kelenteng sebagal tempat ibadah. Satu-satunya kelenteng di Semarang pada waktu itu hanya kelenteng Sam Po Kong di Gedong Batu. Kelenteng yang pertama di Pecinan Semarang baru dibangun pada tahun 1753, jadi dua belas tahun setelah pemberontakan orang-orang Tionghoa. Adapun letaknya berada di jalan. Tjap Kauw King, persis di depan mulut Gang Baru. Untuk keperluan pendirian kelenteng itu telah khusus dipesan toapekong dari Tiongkok.

Mengapa kelenteng yang pertama di Pecinan Semarang  pada waktu itu justru didirikan di jalan. Tjap Kauw King persis di depan mulut Gang Baru, bukan tidak ada sebabnya. Menurut Liem Thian Joe,
"Tempat dari itoe roemah berhala sengaja dipilih dimoeloet djalanan, kerna oemoemnja orang Tionghoa pertjaja datengnja semoea marah bahaja aken melaloei  lebih doeloe moeloet djalanan, dan kapan disitoe ada Thouw Tee Kong, itoe marah baha ja tida brani dateng". (Liem Thian Joe. opcit).

Tiga tahun setelah pembangunan kelenteng Gang Baru, jadi kira-kira pada tahun 1756, tidak jauh dari kelenteng yang pertama, tepatnya di ujung Gang, telah dibangun sebuah klenteng lagi. Yang menjadi sponsornya ialah orang-orang Tionghoa dari famili Kwee. Berbeda dengan pembangunan klenteng yang pertama maka pembangunan kelenteng baru di ujung Gang Gambiran itu ditujukan dengan maksud agar supaya marga Kwee mendapat berkah dari Kwee Lak Kwa yang dipuja sebagai toapekong di kelenteng tersebut dan sekaligus juga dengan maksud untuk tidak menyia-nyiakan seorang marga  Kwee yang telah  sangat terkenal (Liem Thian Joe, opcit).

Siapa sebenarnya tokoh yang bernama Kwee Lak Kwa itu telah pernah saya. uraikan dalam serial ini dalam sebuah nomer khusus mengenai Perang Semarang (SM 13 Juni 1975). Dalam uraian itu telah saya kemukakan bahwa berdasarkan penelitian2 lapangan yang pernah saya lakukan baik di Semarang maupun di Tegal, tokoh yang bernama Kwee Lak Kwa itu sebenar nya bukanlah hanya sekedar seorang saudagar saja sebagaimana diceritakan oleh sumber sejarah Tionghoa, melainkan  lebih dari itu sebenarnya sekaligus juga seorang tokoh dalam pemberontakan orang Tionghoa yang pernah berkobar di Semarang tahun 1741.

Karena itu logis jika orang-orang Tionghoa di Semarang, khususnya orang Tionghoa dari family Kwee dibelakang hari telah mengambil prakarsa untuk menghormatl tokoh tersebut dengan jalan mendirikan se buah klenteng untuk memuja dirinya dan sekaligus "untuk tidak menyia-nyiakan salah seorang dari kaumnya yang telah sangat terkenal (Liem Thian  Joe opcit).

Sementara itu tidak begitu jauh dari klenteng Kwee Lak Kwa orang-orang Tionghoa yg bertempat tinggal di daerah Pecinan Kulon dan Pecinan Wetan pada masa itu juga telah bergotong royong untuk mendirikan Kwan Im Ting, di suatu tempat yang sekarang ini terkenal dgn nama Gang Blakang .Namun di kemudian hari tepatnya pada tahun 1771 tempat ini ternyata telah dianggap kurang baik, dan timbul usaha-usaha untuk memindahkannya. Setelah diadakan beberapa kali perundingan akhirnya di putuskan utk memindahkan Kwan Im Ting itu ke suatu tempat yang terletak di seberang timur dari Kali Semarang yang sekarang ini terkenal dengan nama Gang Lombok. Ongkos pendirian rumah ibadah ini dipikul secara gotong royong .Tukang-tukangnya di datangkan dari Tiongkok demikian juga beberapa patung-patungnya. Klenteng baru itu berhasil diselesaikan dalam tempo satu tahun. Setelah selesai kemudian diberi nama Tay Kak Sie atau terkenal sebagai  Klenteng Besar  (Liem  Thian Joe opcit).

Pada waktu pemindahan Kwan Im Ting ke kelenteng yang baru, diadakan upacara yang meriah sekali. Untuk itu sengaja telah didatangkan rombongan permainan wayang potehi dari Batavia. Selama dua bulan lamanya rombongan permainan wayang potehi itu telah memainkan lakon-lakonnya. Menurut Liem Thian Joe, "Inilah ada yang pertama kali di Semarang di mainkan wayang Pow Tee Hie".

Masih mengenai sejarah kelenteng di Semarang, pada tahun 1782 dapat kita ketahui bahwa di Gang Pinggir telah didirikan sebuah klenteng baru. Sponsor dari pendirian kelenteng baru ini ialah seorang saudagar Tionghoa benama "tuan" Khouw Ping, yang pada waktu itu bertempat tinggal di Pecinan Wetan bersama beberapa orang hartawan Tionghoa lainnya yang bertempat tinggal di kawasan yang sama (sekarang Gang Pinggir) Klenteng ini hingga sekarang masih berdiri dgn kukuhnya, berada di ujung  jalan Gang Pinggir.

Menurut keterangan Liem Thian Joe dari dokumen-dokumen sejarah yang pernah tersimpan dalam ruang Kong koan (Majelis Orang-orang Tiong-hoa, De Chineezen Raad) Semarang, kira-kira pada tahun 1793 di kalangan orang-orang Tionghoa yang bertempat tinggal di Pecinan Lor juga ada  gerakan untuk membangun sebuah klenteng di daerah-nya di suatu tempat yang sekarang ini disebut Gang Pasar Baru, yang pada waktu itu masih kosong dan digunakan tempat pembakaran sampah (Liem Thian Joe opcit). Dengan pembangunan kelenteng ini berarti menjelang usai abad ke-18 masyarakat Tionghoa di Pecinan Semarang telah memiliki seluruhnya enam buah klenteng yakni klenteng Sam Po Kong di Gedong Batu, kelenteng Tjap Kauw King, kelenteng Kwee Lak Kwa, kelenteng Tay Kak Si, kelenteng Gang Pinggir dan klenteng Gang Pasar Baru.

Kelenteng Tay Kak Sie Gang Lombok

Situasi Kota

Seperti dapat kita lihat dari peta kuno kota Semarang tahun 1756 memasuki kota Semarang dari pintu gerbang barat perhatian orang akan tertarik pada De Groote Huis (rumah besar) tempat kedudukan "gubernur pantai utara dan timur tanah Jawa" yang se perti telah kita ketahui berapa masa kemudian  hanya digunakan oleh seri gubernur untuk melakukan pekerjaan kantor dan pekerjaan pekerjaan dinas lainnya saja, berhubung sebagai tempat tinggalnya yang resmi dia telah memperoleh sebuah bangunan yang indah dan luas di seberang barat kali Semarang. Itu sebabnya dalam peta kuno tersebut "De Groote Huis" itu ditandai dengan kata "Gouvernement", maksudnya untuk menyatakan tempat kedudukan pemerintahan atau tempat kedudukan Gubernemen, sementara jembatan Mberok secara resmi disebut "Gouvernements burg” artinya jembatan Gubernement.

Dari bangunan utama ini menuju ke arah timur kita akan dapat menjumpai "Weeshuys" alias "rumah yatim piatu" dan sebuah gereja yang oleh seorang penulis Belanda pernah dilukiskan sebagai sebuah gereja yang indah tetapi kecil yang berada di dekatnya sebuah makam dari tuan Tout le Monde, semasa hidupnya kepala  administrator. Melihat letaknya didalam peta dan juga dari keterangan yang lain, gereja itu dapat dipastikan terletak di kompleks gereja Blenduk sekarang ini.

Tidak jauh dari gereja itu terletak kerkop tempat pekuburan orang2 Belanda. Sedangkan di belakangnya terletak di samping lapangan artileri juga sebuah gedung tempat penyimpanan obat bedil dan obat meriam. Pada  waktu itu juga sudah  dapat menjumpai sebuah rumah sakit disamping sebuah tangsi  tentara dan  gudang barang.

Dalam kota Semarang sendiri terlihat jelas adanya dua jalan besar, melintang dari barat sampai ke timur. Yang paling besar, memanjang dari "De Groote Huis'' sampai agak jauh melewati kerkop, adalah "Heerenstraat" artinya secara harfiah "jalan tuan-tuan", sedangkan yang sebuah lagi yang lebih kecil, ialah Hogendorpstraat, suatu nama yang diberikan untuk mengenang Von Hohendrop, "gubernur pantai utara dan timur tanah Jawa" yang pertama di kota Semarang.

Khusus mengenai Hogendorpstraat ini (sekarang jalan Kepodang), Van Ossenberch yang pernah menjadi gubernur kompeni Belanda di Semarang dari tahun 1761 sampai 1768, dalam memoarnya pernah menulis bahwa jalan ini mula-mulanya adalah sebuah aliran sungai yang telah kering dan membangkitkan bau busuk. Bekas aliran sungai itu kemudian diurug dan berhasil dijadikan suatu jalan yg bagus (Steinmetz. C. Mr. Cultureele Gegevens Unit Familiepapieren. Van Trouwen En Sterven Onder De Compapagnie. 1948). Menurut H Bosboom pembuatan jalan Hogendorp itu dilakukan pada masa pemerintahan dari Van Ossen berch senden

Berdasarkan keterangan mengenai letak pintu gerbang dan pos keamanan di kota Semarang sebagaimana tersebut di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa yang dinamakan kota Semarang pada pertengahan abad ke 18 sebenarnya hanya merupakan suatu kota yang kecil. Lebih kecil dari misalnya saja kota Demak sekarang ini.

Melihat luas kawasannya dengan mudah dapat dibayangkan bahwa pada waktu itupun, yang dinamakan kota Semarang belum banyak penduduknya. Di luar orang-orang seperti gubernur, opperkoopman, mayor, pendeta dan juru bedah, pada tahun 1755 di kota Semarang hanya tercatat 109 orang penjabat kompeni ditambah sedikit para pejabat seperti juru tulis, pekerja kerajinan tangan. 

Hereenstraat

Pos Keamanan

Pada masa itu kota Semarang memang memiliki pagar. benteng berkeliling yang terbuat dari batu. Bagaimana bentuknya dapat kita lihat dari peta kuno koleksi Rijks Archief itu. Dari peta tersebut batas-batas dari kawasan yang pada waktu itu dinamakan kota Semarung dapat ditentukan dengan jelas.

Mengenai pintu gerbang kota Semarang, seperti dapat kita lihat dari peta kuno tersebut pagar benteng yang mengelilingi kota Semarang pada masa itu sebenarnya mempunyai beberapa buah pintu gerbang. Tidak hanya "De Suyder Poort" dan  De Oost Poort" saja. Menurut Kuiper, waktu itu kota Semarang mempunyai tiga buah pintu  gerbang besar, yaitu pintu ger bang barat dan pintu gerbang selatan dan pintu gerbang timur. Sedangkan di sebelah utara menuju ke arah laut masih terdapat beberapa buah   pintu gerbang yang lebih kecil.

Sehubungan dengan pintu-pintu gerbang kota Semarang ini dalam tulisannya Van Heuven menjelaskan bahwa "pintu gerbang barat" dari kota Semarang pada masa itu berada di dekat "Gouvernements brug" - "jembatan gupernemen" alias "jembatan Mberok". Karena itu Van Heuven menyebutnya juga "Gouuvernementspoort" artinya "pintu gerbang gupernemen". Sedangkan pintu gerbang selatannya terletak di sekitar tempat jalan lintas trem dekat awal jalan Pekojan. Tempat itu sekarang ini kira-kira terletak di persimpangan Jalan. Pekojan dan Jln. Agus Salim. Adapun pintu gerbang timur nya terletak pada akhir Heerenstraat di Karangbidara atau dipersimpangan Jalan Raden Patah dengan Jalan. Letjen MT Haryono .

Di samping pintu-pintu gebang besar dan kecil dalam peta kuno koleksi Rijks Archief di ' Gravenhage itu kita juga dapat melihat bahwa pada pertengahan abad ke 18 itu kota Semarang telah dilengkapi pos-pos keamanan untuk mempertahankan kota Semarang dari serangan musuh yang menurut legenda yang terpasang di atas peta kuno tersebut di atas, seluruhnya ada enam buah dan yang antara lain bernama De Hersteller, Ceylon, Amsterdam, Lierde de Smits dan de Zee.

Menurut Van Heuven letak dari pos keamanan itu ialah De Hersteller terletak di sudut Romsche kertstraat" artinya jalan. Gereja  Katolik dan Tawang jadi kira-kira sekarang ini berada dipersimpangan jalan Pengapon dan jalan Ronggowarsito. Sedangkan Amsterdam terletak di tempat pelangsiran stasiun kereta api (yang dimaksud disini stasiun Sentral di jalan, H. Agus Salim - Bubakan) sementara De Lier di kompleks kantor pos Semarang yang lama (berada di dekat kali Semarang) Adapun De Smits dan De Zee masing-masing terletak di kali dekat Boom) (maksudnya Boom lama) dan di batas sebelah barat dari  daerah Tawang.

Khusus mengenai pos keamanan Ceylon, Van Heuven menerangkan bahwa pos ini sebenarnya lebih kecil dari pos yang lain dan letaknya berada di halaman gereja Katolik Gedangan. Menurut Van Heuven ada kemnngkinan bahwa pos ini dibangun karena kebanyakan musuh menanti dari sebelah timur.

Jembatan Mberok

Kantor Gubernur Pantai Utara Jawa

 Kantor Gubernur Pantai Utara Jawa
Keadaan semacam itu berjalan beberapa masa lamanya. Pada tahun 1770-an, sebagai tempat kediaman resmi "gubernur pantai utara dan timur tanah Jawa" pada waktu itu telah ditunjuk suatu bangunan baru, terletak di suatu kawasan yang sebelumnya merupakan tempat pertamanan gubernur. Letaknya 'sekarang ini berada di depan kantor pos besar Semarang, di suatu kawasan yang pada masa' tempo doeloe diguna kan sebagai kompleks "Gouvernnements Belasting en Ontvangerskantoor" (Kantor Bea dan Cukai Gubernemen) Adapun bangunan yang lama kemudian digunakan sebagai tempat untuk melakukan pekerjaan kantor dan pekerjaan-pakerjaan dinas lainnya, untuk akhirnya dalam abad ke 19 habis terbakar. (Kuiper. K.G. opcit).

Bangunan baru tempat kediaman resmi "gubernur pantai utara dan timur tanah Jawa" itu pernah dipuji oleh seorang penulis Belanda bernama J.S. Stavorinus dalam buku laporan perjalanannya "Reize van Zeeland over de Kaap Goede Hoop en Batavia naar Semarang, Macassar, Amboina, Suratte enz gedaan in de jaaren 1774 tot 1778" - "Perjalanan dari Zee land melewati Negeri Tanjung Pengharapan dan Betawi ke Semarang, Macassar, Ambon, Surat tsb. selama tahun 1774 sampai 1778". Dalam buku itu dia.memuji bangunan baru tempat kediaman resmi "gubernur pantai utara dan timur tanah Jawa" itu sebagai "een fraai en ruim gebouw,, suatu bangunan yang indah dan luas".

Mengenai bangunan ini dalam artikelnya "lets Over Oud-Semarang" Van Heuven pemah mengemukakan keterangan bahwa dikalangan masyarakat Belanda kuno ada kebiasaan untuk menghiasi bangunan-bangunan dengan nama nama yang indah. Dan mengikuti adat kebiasaan Belanda kuno itu, bangunan baru tempat kediaman resmi gubernur kompeni Belanda itu kemudian diberi nama "de Vrijheid" artinya ,,Merdeka"!

Namun, boleh percaya atau tidak, sekalipun letak nya berada di Semarang, "Gedung Merdeka" tempat kediaman resmi gubernur kompeni Belanda, waktu itu secara resminya harus dikatakan berada diluar kota Semarang. Hal itu sebenarnya tidak mengherankan kalau diingat bahwa yg dinamakan kota Semarang pada masa itu (pertengahan abad ke 18) sebenarnya hanyalah sebuah kawasan yang terletak dl seberang timur darl Jembatan Mberok, yang nota bene merupakan sebuah tempat pemukiman orang-orang kompeni Belanda. Dengan demiklan seperti halnya “Gedung Merdeka", baik kanjengan maupun mesjid besar Semarang, waktu itu pun resminya sebenarnya juga harus dikatakan berada di luar kota Semarang.

Sampai dimana batas-batas yg dinamakan kota Semarang pada masa itu dapat kita ketahui diantaranya dari sebuah peta kuno kota Semarang dari tahun 1756, jadi 15 tahun setelah usainya pemberontakan Tionghoa di Semarang, yang hingga sekarang masih tersimpan dalam koleksi Rijks Archief di s'Gravenhage Nederland.

Mengenai peta ini perlu dicatat, bahwa entah mengapa, pelukisnya ternyata telah berbuat kekeliruan besar. Peta tersebut telah digamber secara terbalik, hingga kota Semarang yang mestinya waktu itu berada di seberang timur kali Semarang, karena terbalik, menjadi terletak di seberang baratnya.

Terbaliknya peta kuno kota Semarang tahun 1756 itu jelas sekali terlihat kalau kita memperhatikan bidang-bidang kecil yang ditandai dengan huruf P dan O. Menurut legenda yang terpasang diatas peta itu, kedua huruf itu masing-masing dipakai untuk menandai "De Suyder Poort" dan ”De Oost Poort" artinya ,”Pintu gerbang selatan" dan ”Pintu gerbang timur". Hal itu jelas tidak cocok dengan letak keduanya dalam peta tersebut dan baru akan sesuai jika peta itu dibalik.

Adanya kedua pintu gerbang dalam peta kuno kota Semarang tahun 1756 itu benar-benar sangat menarik perhatian. Keduanya bisa segera membawa alam fikiran orang pada asosiasi bahwa pada waktu itu kota Semarang memiliki suatu pagar benteng berkeliling. Asosiasi semacam itu memang tidak meleset.

Panorama Semarang Seusai Pemberontakan Tionghoa

Mesjid Semarang

Pemberontakan Tionghoa yang terjadi di Semarang semenjak tanggal 14 Juni sampai 13 Nopember 1741 telah meninggalkan kesan yg cukup dalam bagi masyarakat Semarang yang hidup pada masa itu. Daerah Pecinan yang pada masa pemberontakan tersebut menjadi ajang pusat pertahanan orang Tionghoa "telah terbakar seluruhnya" demikian pernah dikatakan oleh H. Bosboom dalam sebuah ceramahnya mengenai peta-peta kuno kota Semarang di pertemuan umum perhimpunan Bataviaasch Genootschap van Kuns ten en Wetenschappen pada tahun 1904 (Bosboom. H. No ta Bij Semarang's Oude Kaarten. 1904).

Dalam kesempatan itu Bosboom juga, menerangkan bahwa pemberontakan orang orang Tionghoa di Semarang juga telah minta korban sejumlah rumah yang terbakar. disamping "de Javaansche tempel" artinya "candinya orang orang Jawa  sementara yg dimaksud ialah '"mesjid besar" Semarang. ;

Menurut H Bosboom mesjid besar Semarang pada masa itu terletak disebelah timur laut dari kanjengan dan berada ditepi sebelah kiri sungai. Setelah terbakar mesjid itu lalu dipindahkan tempatnya ke sebuah kawasan yang terletak di sebelah barat laut dari kanjengan. Jadi ditempat dimana mesjid besar Semarang sekarang ini berdiri.

Seperti halnya sebelum meletusnya Perang Semarang, setelah kompeni Belanda berhasil memadamkan pemberontakan orang Tionghoa itu, Semarang berada dibawah kekuasaan seorang  penjabat dengan pangkat kommandeur. Sebagai "kommandeur van Java's Noord-Oostkust" dia merupakan seorang ponguasa tertinggi di seluruh wilayah pantai utara dan timur tanah Jawa.
Namun keadaan semacam itu tidak berjalan lama. Setelah kompeni Belanda berhasil merenggut lebih banyak daerah lagi di sebelah utara pantai tanah Jawa dari kerajaan Mataram, sebagai akibat dari perjanjiannya dengan Sunan Paku Buwono II pada tanggal 11 November 1743, semenjak tahun 1748 kompeni Belanda akhimya mengambil keputusan untuk mcngangkat seorang gubernur sebagai penguasa tertinggi di seluruh kawasannya yang sangat luas itu. Dan yang beruntung bisa menduduki jabatan sebagai "Gouverneur van Java's Noord - Oostkust" yang pertama di Semarang itu tidak lain ialah kommandeur kompeni Belanda di Semarang sendiri, yakni Von Hohendorff (Kuiper. K.C. Oud En Nieuw Semarang. 1935).

Sebagai "Gubernur pantai utara dan timur tanah Jawa" waktu itu Von Hohendorff membawahi beberapa buah "karesidenan". Karesidenan itu dari barat sampai ke timur ialah Tegal, Pekalongan, Semarang. Jepara, Juana, Rembang, Gresik, Surabaya dan Ulupampang, di samping Sumenep dan Madura (Van Heuven. G.B.J. lets Over Oud-Semarang. 1932). Seperti halnya "kommandeur van Java's Noord - Oost kust", waktu itupun "gubernur pantai utara dan timur tanah Jawa" bertempat tinggal di bangunan yang sekarang ini terletak tidak begitu jauh dari sudut jalan. Raden Patah dan Jalan. Mpu Tantular yang menuju ke arah Kebon Laut.



Tuesday, February 10, 2015

Misteri Koloniale Tentoonsteling

Pada  masa  pecahnya  Perang Dunia II makam yang aneh itu masih ada sekali pun pada waktu itu tidak banyak orang Semarang yang mengetahiunya. Namun pada tahun  1946,  ketika  tempat yg semula digunakan  sebagai "audemanenhuis" itu telah dipakai     sebagai kompleks kantor polisi, ternyata makam yg terletak di atas gapura itu telah lenyap  hilang musnah bersama-sama dengan gapuranya,

Menurut informasi lenyapnya  makam aneh itu ada hubungannya dengan masalah transport. Karena pintu gerbang itu tidak bisa dimasuki oleh mobil polisi dan kendaraan-kendaraan  yang lain, pintu gerbang itu lengkap beserta makam pendirinya   yang dibongkar.

Dari  segi sejarah hal itu merupakan suatu tindakan yang  disayangkan, "Een oudheid ging hier verloren en ....     dit gebeurde door  een instantie van de in 1946 nog goed functionerende  regering van Nederlands-Indie" - "Sebuah kekunoan telah hilang di sini dan ......  ini terjadi oleh sebuah instansi dari sebuah pemerintah yang pada tahun 1946 masih merupakan pemerintahan yang berjalan dengan baik di Hindia Belanda" - demikian pernah dikatakan oleh Hein Buintenweg dalam bukunya "Land Waar De Gamelan Klinkt"(1973)


Menyinggung mengenai makam aneh yang pernah terdapat di Heerenstraat, orang-orang Semarang tentunya akan segera  teringat pada piramid-piramid yang terdapat di Mugas Atas yang sangat terkenal itu.

Sudah sejak lama piramid-piramid yang terletak di daerah itu oleh sementara kalangan telah dianggap sebagai kuburan dari orang-orang Belanda pada “zaman kuno”yang pernah bertempat tinggal di Semarang. Bahkan ada seorang penulis yang mencoba untuk menghubung-hubungkan dengan piramed-piramid Mesir yang terletak di gurun Sahara itu. Malahan belum cukup kemudian dibuat cerita-cerita sensasionil mengenai piramid.

Mereka yang belum pernah bertamasya dalam taman sejarah kota Semarang tentunya akan mudah terkecoh oleh cerita-cerita burung semacam itu. Pada hal piramid-piramid yang terletak di daerah Mugas Atas itu sebenar nya bukanlah merupakan kuburan dari orang-orang Belanda pada zaman kuno. Sebaliknya hanya merupakan puing dari suatu pasar malam raksasa yang pernah diadakan di kota Semarang pada tahun 1914 yang termasyur dengan nama "De Koloniale Tentoonstelling Te Se marang" yang hingga se karang belum belum bisa tertandingi baik mengenai kebesarannya maupun kemewahannya oleh daerah manapun di seluruh Indonesia termasuk Jakarta.

Pada waktu itu pasar malam raksasa tersebut diadakan di suatu kawasan yang terletak di sebelah selatan dari Jalan Pandanaran hingga Jauh ke daerah bukit yang sekarang ini termasuk daerah Mugas. Pada waktu itu bukit-bukit tersebut penuh sesak dengan aneka warna bangunan yang dengan sengaja didirikan utk kepentingan pasar malam raksasa itu, mulai dari paviliun, rumah makan, "muzicktent" dan lain-lain bangunan lagi, termasuk diantaranya piramid imitasi, tiruan darj piramid bangsa  Mesir kuno yang terletak di gurun Sahara itu.

Ir. Macline Pont, seorang insinyur yang telah beruntung diserahi kontrak menangani pembuatan proyek bangunan dalam pasar malam raksasa itu termuat dalam majalah Nederlndsch Indie Oud En Nieuw 1919-1920, dengan Judul De Koloniale Tentoonstelling Semarang.





Koloniale Tentoonstelling Te Semarang

Gapura Misteri

Semenjak  jaman kompeni hingga  beberapa dasawarsa pertama dalam abad ke. 19, Heerenstraat merupakan satu-satunya jalan yang paling utama di dalam kota Semarang. Jalan itu, yang sekarang dinamakan Jalan. Let Jen Suprapto - sebelumnya (Jalan. Raden Patah) pada waktu itu merentang panjang mulai dari perempatan dimuka Jembatan Mberok hingga ke arah timur sampai dengan simpang tiga Jalan Ronggowarsito Jalan.
Sayangan dan Jalan Karang Bidara

Dari segi harfiah Heeren straat berarti Jalan. Tuan-tuan. Pada zaman kompeni di sekitar jalan itu memang ter dapat banyak rumah-rumah tempat kediaman "tuan-tuan" Belanda. Banyak diantaranya terdiri dari para penjabat. Kantor-kantor pun ada juga yang terletak di Jalan itu disamping di beberapa daerah lain yg terletak di sekitarnya. Demi kianlah Jalan tersebut dengan sendirinya merupakan suatu Jalan yang sering dila lui oleh para penjabat Belan da atau oleh tuan-tuan Belanda yang terhormat. Itu sebab-nya jalan itu kemudian dina makan Heerenstraat artinya secara harfiah Jalan. Tuan-tuan.

Kecuali Heerenstraat pada masa itu masih ada sebuah jalan lain yang cukup besar di dalam kota Semarang yakni Hoogendorpstraat, yang sekarang dinamakan Jln. Ke podang. Pada masa itu Jalan. Kepodang masih panjang merentang sejajar dengan Heerenstraat mulai dari Jalan. Mpu Tantular sampai menembus Jalan. Cenderawasih, persis di sebelah utara dari kompleks  setasiun Sentral.

Nama.Hoogendorpstraat ini sebenarnya diberlkan untuk mengenangkan pada Van Hohen dorff, "gubernur pantai utara dan timur pulau Jawa" yang pertama di Semarang. Dalam sebuah memoirnya, van Ossenburch yang pernah menjabat sebagai gubernur kompeni Belanda di Semarang dari tahun 1761 sampai 1768 pernah menerangkan bahwa Hoospendorpstraat itu mula-mulanya adalah sebuah aliran sungai yang telah kering dan membangkitkan bau yang busuk. Bekas  aliran sungai itu kemudian dikeringkan dan berhasil, di Jadikan Jalan yang bagus (Steinmetz. C. Mr. Cultureele Gegevans Uit Familiepai pieren. Van Trouwen En Sterven Onder De Compagnie.-Termuat dalam Cultureel Indie - Bloomlezlng.

Menurut H. Bosboom dalam ceramahnya yang diucapkannya pada tahun 1904 di muka rapat umum dan rapat direksi dari pcguyuban ,,Bataviaasch - Genootschap van Kunsten en Wetenschappen" dengan Judul "Nota Bij Semarang  Oude Kaarten", pembuatan jalan itu dikerja kan pada masa pemerintah an dari gubernur Van Oosen burch sendiri. Dengan demikian, Jalan. Kepodang pusat perbankan di Semarang itu hingga sekarang sebenarnya telah berusia lebih kurang 230 tahun.

Di antara Hoogendorpstaart dan Heerenstaart pada suatu kawasan yarig terletak di muka asrama Jansen, tepatnya pada halaman masuk dari tanksi polisi pada dasawarsa pertama abad ke-19 dapat kita Jumpal suatu gapura.

Pada bagian atas dari gapura tersebut dapat kita baca angka tahun 1773. Melihat bentuknya. Andaikata gapura itu sekarang masih ada, mungkin sekali yang melihatnya akan menganggapnya sebagai suatu gapura biasa, yang sama sekali tidak mempunyai satupun keistimewan; Padahal gapura itu sebenarnya adalah suatu gapura yang luar biasa. Suatu gapura yang bukan sembarang gapura,

Dan penuturan L.F.M. Busselaar yang pernah tercatat dan sebagai seorang penduduk kuno kota Semarang dan sekaligus seorang "amateur-historicus" mengenai kota Semarang dapat kita ketahui bahwa gapura tersebut sebenarnya merupakan suatu gapura yang unik yang ada hubungannya dengan sejarah rumah perawatan  orang-orang tua lelaki bekas para anggauta militer darat dan laut di Nusantara, yang tempo doeloe pernah terdapat dan terkenal dengan nama "oude mannenhuis", Rumah perawatan orang-orang tua bekas para anggauta militer darat dan laut itu didirikan pada tahun 1775 oleh seorang janda opsir Inggris yang namanya sayang sekali tidak bisa dikenal.

Rumah perawatan itu dihibahkan pada Pemerintah Hindia Belanda dengan syarat bahwa gedung-gedungnya tidak boleh dipergunakan untuk keperluan lain kecuali sebagai "oude mannenhuis" sedangkan lembaganya juga tidak boleh dipindahkan ke tempat lain. Pemerintah Belanda pada waktu itu dapat menerima penghibahan tersebut dan dengan, Staatsblad tg 29 Juli 1820 Nr 32 kemudian ditetapkan peraturan mengenai pengurus dan lembaga dari rumah miskin atau rumah perawatan orang-orang tua di Semarang. Anehnya, setelah meninggal, janda opsir Inggris yg dermawan itu ternyata telah dimakamkan di atas pintu gerbang dari lembaga yg didirikannya. Apa sebabnya, tidak bisa diketahui dengan pasti.

Gapura Misteri di Heerenstraat

Sunan Kuning

Sampai di sini mungkin banyak diantara para pembaca bertanya, lalu apa hubungannya antara Sunan Kuning dengan ''Daerah Lampu Merah” yang terletak di hampir batas kota Semarang sebelah barat itu. Dengan lain perkataan mengapa daerah tersebut. sampai diberi nama Sunan Kuning?

Sesuai dengan papan nama yang terpancang di depan pintu masuk daerah tsb daerah itu resminya sebenarnya bernama Sri Kuncoro. Nama Sunan Kuning itu diberikan berdasarkan nama tempat keramat yang terletak tidak begitu jauh dari daerah itu.
 

Tempat keramat itu berada di atas sebuah bukit kecil, terletak beberapa puluh meter  dari jalan raya Semarang – Pekalongan. Berujud enam buah petilasan, berada dalam  dua cungkup besar yang masing-masing berisi tiga petilasan. Cungkup yang pertama berisi, petilasan-petilasan dari Kyai Sekabat, Kyai Jimat dan Kyai Mojopahit. Namun siapa  sebenarnya kyai-kyai ini tidak diketahui. Cungkup yang kedua mencangkup petilasan-petilasan dari Sunan Kuning, Kanjeng Sunan Kali dan Kanjeng Sunan Ambarawa.

Disebutnya nama Sunan Kuning dan Sunan Kali ini sangat menarik perhatian kita. Apakah sebabnya Sunan Kuning sampai meninggalkan petilasan di daerah ini? Dan lebih dari itu, siapakah sebenarnya Sunan Kuning itu? Apakah tokoh ini identik dengan Sunan Kuning dari Kartasura?

Tentang petilasan Sunan Kuning ini ada pendapat bahwa Sunan Kuning yang meninggalkan petilasan di bukit kecil tersebut sebenarnya adalah seorang Tionghoa . Nama aslinya adalah Sun Kun Ing dan dari nama Sun Kun Ing inilah kemudian lahir nama Sunan Kuning.

Tidak bisa disangka lagit bangunan2 yang sekarang ini terdapat di kompleks petilasan  Sunan Kuning memang merupakan bangunan pemujaan Tionghoa. Pintu gerbang masuknya saja misalnya, Jelas serupa benar bentuknya dengan pintu gerbang sebuah klenteng. Bangunan tersebut  memang dibangun oleh orang Tionghoa, kemungkinan besar oleh mereka yg telah berhasil mendapat "berkah keramat" dari tempat tersebut. Hal itu dapat kita ketahui diantaranya dari inskripsi yg terpancang. di depan cungkup petilasan Sunan Kuning yang berbunyi :

Diperbaekin oleh
Liem Som Geng Merk Soen Sie Smg,
DD 24 2 1937
"14 - 1 – 3488”
“12 – 12 - 1867.
Rombak Djam 7 pagi
Pasang Djam 1 siang
BoeaIan Besar
Rebo Kliwon.

Namun dari kenyataan ini tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan demikian , otomatis yang dinamakan Sunan Kuning itu sebenarnya adalah orang Tionghoa. Juga sekalipun di depan petilasan tersebut ada area Tionghoanya. Kesimpulan, semacam itu jelas merupakan kesimpulan yang salah.

Sementara belum berhasil mendapatkan data yang pasti ada suatu dugaan yang pernah diajukan oleh sementara kalangan bahwa petilasan Sunan Kuning di dekat kerkop Kalibanteng itu sebenarnya ada hubungannnya dengan Sunan Kuning dari Kartasura. Dan hubungan itu mungkin bersifat langsung dan mungkin juga bersifat tidak langsung.
 

Langsung dalam arti bahwa petilasan ini memang ada kaitannya dengan Sunan Kuning sendiri, dan tidak langsung petilasan itu cuma ada kaitannya dengan para pengikut Sunan Kuning saja pada waktu meletusnya pemberontakan melawan Sunan Paku Buwono II dan kompeni Belanda,

Berkaitan dengan pendapat ini ada suatu dugaan yang mengatakan bahwa tempat petilasan Sunan Kuning tsb, sebelum abad ke-18 sudah merupakan suatu tempat petilasan yang dikeramatkan .Dugaan semacam itu setidak nya dapat disimpulkan dari adanya petilasan Kanjeng Sunan Kali di tempat tersebut. Berdasarkan dugaan ini bukan mustahil, baik pada masa pemberontakan melawan Sunan Paku Buwono II dan kompeni Belanda maupun pada masa sebelumnya, Sunan Kuning memang pernah menyepi di tempat tersebut, seperti halnya Pangeran Puger alias Sunan Paku Buwono I pernah menyepi di Bergota dan meninggalkan petilasannya di tempat itu. Atau setidaknya bahwa pada masa pemberontakan melawan Sunan Paku Buwono II dan kompeni Belanda, para penglkut Sunan Kuning pernah berada di tempat itu. baik dalam rangka menyepi maupun dalam rangka strategi perjuangan mereka.

Sampai di mana jauh dugaan semacam itu bisa diterima, sudah barang tentu-merupakan suatu pertanyaan yang tidak mudah dapat dijawab. Soal petilasan Sunan Kuning di sebelah barat kota Semarang hingga sekarang memang masih tetap merupakan teka-teki.


                                        Makam Sunan Kuning