Dalam uraian yang kita telah mengetahui bahwa pada pertengahan abad ke-18 "kota Semarang mempunyai pengertian yang khusus. Jauh berbeda dengan pengertian kota Semarang sekarang ini juga jauh berbeda dengan pengertian kota Semarang pada jamannya Kyai Ageng Pandan Arang.
Pada masa itu yang dinamakan kota Semarang masih terbatas meliputi sebuah kawasan tempat pemukiman orang-orang Belanda saja yang terletak di seberang timur dari jembatan Mberok dan meliputi daerah Tawang, daerah dengan nama-nama burung yang terletak di sebelah kiri dan kanan jalan Raden Patah mulai dari seberang jalan Sayangan sampai ke jalan Mpu Tantular, serta daerah Sleko hingga ke perbatasan Boomlama.
Sekalipun demikian, meskipun dalam kesempatan ini kita mengambil sebagai topik pembicaraan mengenai "Masyarakiat Semarang Sekitar tahun 1750". Namun pembicaraan kita tidak akan terpancang khusus membatasi diri pada masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut di atas saja, melainkan sedikit banyak juga akan menyinggung mengenai kehidupan masyarakat di luar kawasan itu. Tulisan ini tidak akan membatasi diri pada kehidupan masyarakat di daerah yang pada waktu itu dinamakan "kota Semarang” saja, namun juga akan membicarakan sedikit banyak mengenai kehidupan masyarakat di daerah yang pada waktu itu di namakan daerah luar kota Semarang.
Dibanding dengan masyarakat yang hidup di kota-kota lain di pesisir utara pulau Jawa. pada pertengahan abad ke-18 masyarakat di kota Semarang jelas sekali menunjukkan suatu keistimewaan yaitu mempunyai hobby suka mengadakan pesta-pesta yg mewah disertai dengan dansa dansi. Hobby masyarakat kota Semarang dalam hal yang satu ini sangat menonjol sekali dan sekaligus juga sangat termasyhur. Sehingga cukup banyak kita jumpai ceriteranya dalam buku-buku laporan perjalanan karangan para penulis Belanda yang pada waktu itu pernah mengunjungi kota Semarang.
Domine Valentijn salah seorang dari sekian banyak penulis Belanda itu, dalam buku yang sangat masyhur Oud En Nieuw Oost Indien (1724-1726) pernah mencatat bahwa hobby masyarakat kota Semarang tersebut tidak hanya terbatas di kalangan para pejabat tinggi Belanda saja, namun juga dikalangan para pejabat tinggi orang-orang Jawa.
Pesta-pesta itu katanya, kadang-kadang demikian bebasnya, hingga siapa saja dapat dikatakan boleh masuk. Dalam kesempatan itu dia juga menerangkan bahwa pesta-pesta semacam itu tidak hanya diselenggarakan di tempat-tempat kediaman para pejabat Belanda saja misalnya "Gedung Merdeka" tempat kediaman resmi gubernur pantai utara dan timur pulau Jawa" yang terletak di seberang barat jembatan Mberok, namun juga 'ten huize van den Semarangschen vertegenwoordiger van den Soesoehoenan" dengan lain perkataan juga di kanjengan Semarang.
Sehubungan dengan pesta pesta pora yang mewah itu menarik juga untuk dicatat bahwa dalam pesta-pesta tersebut ternyata juga ikut hadir Domine Valentijn yang dalam pesta itu dia menunjukkan rasa 'suka cita.
Khusus mengenai kehadiran bapa pendeta Protestan tersebut dalam artikelnya ,,Iets Over Oud-Semarang" (1932), B J Van Heuven pernah menyinggung sebuah buku tulisan seorang nakhoda kapal yang pernah datang ke Semarang dan menyaksikan sendiri kehadiran domine Semarang dalam pesta2 pora yang mewah disertai dengan dansa dansi yang mengasyikkan itu.
Dalam buku tersebut sang nakhoda menceritakan bahwa pada waktu itu Domine Valentijn demikian gembiranya hingga seakan-akan telah lupa akan dirinya dan ikut serta bersorak-sorak.
Pada masa itu yang dinamakan kota Semarang masih terbatas meliputi sebuah kawasan tempat pemukiman orang-orang Belanda saja yang terletak di seberang timur dari jembatan Mberok dan meliputi daerah Tawang, daerah dengan nama-nama burung yang terletak di sebelah kiri dan kanan jalan Raden Patah mulai dari seberang jalan Sayangan sampai ke jalan Mpu Tantular, serta daerah Sleko hingga ke perbatasan Boomlama.
Sekalipun demikian, meskipun dalam kesempatan ini kita mengambil sebagai topik pembicaraan mengenai "Masyarakiat Semarang Sekitar tahun 1750". Namun pembicaraan kita tidak akan terpancang khusus membatasi diri pada masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut di atas saja, melainkan sedikit banyak juga akan menyinggung mengenai kehidupan masyarakat di luar kawasan itu. Tulisan ini tidak akan membatasi diri pada kehidupan masyarakat di daerah yang pada waktu itu dinamakan "kota Semarang” saja, namun juga akan membicarakan sedikit banyak mengenai kehidupan masyarakat di daerah yang pada waktu itu di namakan daerah luar kota Semarang.
Dibanding dengan masyarakat yang hidup di kota-kota lain di pesisir utara pulau Jawa. pada pertengahan abad ke-18 masyarakat di kota Semarang jelas sekali menunjukkan suatu keistimewaan yaitu mempunyai hobby suka mengadakan pesta-pesta yg mewah disertai dengan dansa dansi. Hobby masyarakat kota Semarang dalam hal yang satu ini sangat menonjol sekali dan sekaligus juga sangat termasyhur. Sehingga cukup banyak kita jumpai ceriteranya dalam buku-buku laporan perjalanan karangan para penulis Belanda yang pada waktu itu pernah mengunjungi kota Semarang.
Domine Valentijn salah seorang dari sekian banyak penulis Belanda itu, dalam buku yang sangat masyhur Oud En Nieuw Oost Indien (1724-1726) pernah mencatat bahwa hobby masyarakat kota Semarang tersebut tidak hanya terbatas di kalangan para pejabat tinggi Belanda saja, namun juga dikalangan para pejabat tinggi orang-orang Jawa.
Pesta-pesta itu katanya, kadang-kadang demikian bebasnya, hingga siapa saja dapat dikatakan boleh masuk. Dalam kesempatan itu dia juga menerangkan bahwa pesta-pesta semacam itu tidak hanya diselenggarakan di tempat-tempat kediaman para pejabat Belanda saja misalnya "Gedung Merdeka" tempat kediaman resmi gubernur pantai utara dan timur pulau Jawa" yang terletak di seberang barat jembatan Mberok, namun juga 'ten huize van den Semarangschen vertegenwoordiger van den Soesoehoenan" dengan lain perkataan juga di kanjengan Semarang.
Sehubungan dengan pesta pesta pora yang mewah itu menarik juga untuk dicatat bahwa dalam pesta-pesta tersebut ternyata juga ikut hadir Domine Valentijn yang dalam pesta itu dia menunjukkan rasa 'suka cita.
Khusus mengenai kehadiran bapa pendeta Protestan tersebut dalam artikelnya ,,Iets Over Oud-Semarang" (1932), B J Van Heuven pernah menyinggung sebuah buku tulisan seorang nakhoda kapal yang pernah datang ke Semarang dan menyaksikan sendiri kehadiran domine Semarang dalam pesta2 pora yang mewah disertai dengan dansa dansi yang mengasyikkan itu.
Dalam buku tersebut sang nakhoda menceritakan bahwa pada waktu itu Domine Valentijn demikian gembiranya hingga seakan-akan telah lupa akan dirinya dan ikut serta bersorak-sorak.
Gedung Merdeka
No comments:
Post a Comment