Tuesday, February 10, 2015

Gereja di Semarang

Berbicara mengenai pendeta Protestan di Semarang, pendeta Protestan yang pertama bertugas  di Semarang ialah C. Manteau. Dia datang dari Batavia pada tahun 1680. Empat tahun berikutnya datang seorang pendeta lain bernama J Vosmaer. Namun keduanya bukanlah pendeta tetap untuk daerah Semarang. Pendeta tetap yang pertama untuk Semarang baru setelah di Semarang berhasi! dibentuk sebuah Jemaat yaitu setelah tahun 1750. Pendeta ini bernama J Lipsius bertugas pada tahun 1772.
 
Adapun gerejanya, seperti telah kita ketahui terletak di tengah-tengah Heerenstraat. Sekarang ini letaknya persis di kompleks di mana gereja Blenduk berdiri. Bentuknya pada awal mulanya boleh di bilang istimewa, karena mengambil bentuk langgam bangunan panggung Jawa (Graaf H J De, Geschiedenis Van Indonesie, 1949). Sayang bangunan gereja itu tidak berusia lama. Pada tahun 1787 gereja panggung itu telah dibongkar dan di atas tempatnya kemudian dibangun sebuah gereja baru. Tetapi gereja baru ini pun tidak berusia lama. Tujuh tahun berikutnya, jadi pada tahun 1794, gereja itu telah dibangun kembali dalam suatu bentuk baru dengan kubah besar dilengkapi   dengan pintu gerbang dan dua buah menara, yang sekarang ini masih bisa kita saksikan, populer dengan sebutan gereja Blenduk. (Bos boom. H. Nota Bij Semarang's Oude Kaarten 1904). Pada waktu itu gereja baru tersebut merupakan suatu gereja yang  sangat indah. Tidak heran jika Th.Van Swieten dalam tulisannya "Wandeling door  Semarang" (1899) sampai mengatakan bahwa bagi Hindia Belanda gereja tersebut   benar-benar merupakan suatu barang perhiasan".

Perlu diketahui, pada masa itu belum ada gereja Katolik. Gereja Katolik yang pertama di kota Semarang baru dibangun pada awal abad ke-19. Letaknya tidak jauh dari gereja Blenduk, dan pada waktu itu gereja Katolik tersebut masih merupakan sebuah rumah tempat kediaman biasa. Dari sebuah gereja rumah itu kemudian dijadikan toko yang akhirnya terbakar pada tahun 1899 (Tillema. H. F.Kromobianda Over vraagstuk van het wonen in Kromo’s groote land Deel V)

Jadi gereja Gedangan bukan merupakan gereja Katolik yang pertama di kota Semarang seperti sering disangka oleh kebanyakan oang. Gereja Gedangan adalah gereja Katolik yang kedua di kota Semarang. Gereja itu baru dibangun pada tahun 1876 oleh pastur J. Lijnen dan pada masanya untuk jangka waktu yg lama gereja itu pernah mengalami menjadi gereja Katolik yang paling indah di seluruh Nusantara (Plas A H Van 't oude Samarang en 't verjongde Semarang 1911).

Awal mulanya orang-orang kompeni di Semarang hanya terdiri dari orang lelaki. Pemerintah tinggi kompeni Belanda di Batavia waktu itu memang melarang mereka datang ke Semarang dengan membawa serta istri. Larangan semacam itu barang tentu merupakan suatu siksaan bagi  orang-orang kompeni Belanda. Tidak heran jika tidak lama kemudian ada suatu permohonan dari orang-orang perempuan untuk diizinkan mengikuti suami mereka ke Semarang. Namun tanpa menerangkan sebab musababnya, permohonan itu ternyata ditolak. Bagi orang-orang kompeni di Semarang penolakan itu barang tentu merupakan suatu pukulan hebat. Untuk mengusir kesepian mereka lalu mendekati perempuan yang berada di dekat kawasannya. Demikianlah akhimya seperti dikatakan oleh mendiang J.R. Van Berkum "de bedroefde harten vonden troost bij de melati van Java" "hati-hati yg duka telah menemukan tempat penghiburannya pada kembang melati dari Jawa." Dan kembang-kembang melati dari Jawa ini ternyata sangat kuat harum wanginya. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat saja telah lahir indo belanda di kota Semarang (Semarang Als Industrieel, Commercieel En Cultureed Centrum, 1941).

Menurut H Bosboom pada tahun 1716 anak-anak indo Belanda telah demikian banyak. Sehingga, pemerintahan kompeni Belanda di Semarang merasa perlu untuk mengambil tindakan, mengirimkan tujuh pulah anak ke Batavia dan selanjutnya memberikan anak-anak tadi di bawah asuhan diakoni gerejani. Sebab ditakutkan bahwa anak-anak yang telah dibaptis itu akan jatuh ke tangah keluarga ibunya. Tetapi pihak yang berwajib di Batavia pada waktu itu ternyata telah menolaknya. Sebagai akibat untuk ;pertama kalinya dalam sejarah Semarang muncul nona-nona dan sinyo-sinyo kecil yg .pertama (H Bosboom, opcit).




Gereja Gedangan

No comments:

Post a Comment