Kapan peraturan perempuan Eropa dilarang masuk dan mengikuti suami mereka ke Semarang itu dicabut tidak diketahui. Namun dari kenyataan bahwa pada kwartal pertama abad ke-18 di kota Semarang telah terdapat cukup banyak perempuan Eropa. Tentunya, dapat disimpulan pada masa itu peraturan tersebut telah dicabut.
Seperti halnya di Batavia pada zaman kompeni kita melihat adanya pluralisme dlm bidang hukum yg berlaku baik di dalam maupun di luar kota Semarang. Artinya, pada waktu itu hukum yg diterapkan hanya untuk orang-orang Eropa.
Orang pribumi yang bersalah pada waktu itu diadili oleh kanjeng bupati Semarang. Jika mereka terbukti benar melakukan perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya, mereka dapat dijatuhi hukuman mati atau hukuman penjara. Pada abad ke-18 tempat untuk melaksanakan eksekusi itu, misalnya hukuman mati, ialah di paseban, yang pada masa itu masih terletak di sebelah timur dari kanjengan, yang sekarang ini merupakan salah satu kawasan dari daerah Pecinan (H Bosboom, opcit),
Tetapi jika orang pribumi itu melakukan perbuatan pidana terhadap orang-orang Eropa atau orang-orang timur asing, misalnya orang Arab, maka kanjeng bupati Semaraag tidak lagi berwenang untuk mengadili mereka. Dalam hal ini mereka diadili oleh pengadilan kompeni. Tempat untuk melaksanakan hukuman terhadap mereka-pun juga tidak di paseban, melainkan di tempat eksekusi kompeni, yang dipergunakan juga untuk melaksanakan eksekusi terhadap orang-orang Eropa yang telah terbukti melakukan perbuatan pidana. Adapun letaknya berada di sebelah timur laut dari benteng kompeni Semarang. Sedang kan sekarang ini letaknya persis di jalan, Meliwis, di dekat belokan jalan Mpu Tantular - Tawang.
Seperti kita ketahui, orang-orang yang akan meninggal. pada saat yang paling akhir dari hidupnya, akan menge luarkan semacam "cekikan" yang dapat kita katakan "nafas yang pendek". Itu sebabnya tempat di mana eksekusi itu dilakukan, tempo doeloe secara resmi disebut Kortademstraat yang secara harfiahnya berarti jalan. Nafas Pendek. Mewarisi nama yg berasal dari zaman kompeni!
Keadaan semacam itu berjalan hingga tahun 1735. Setelah waktu itu, jika seorang peribumi terbukti bersalah telah melakukan perbuatan pidana terhadap seorang Eropa atau timur asing, maka dia tidak lagi dieksekusi di "Kortademstraat'' melainkan cukup di paseban saja.
Pada tahun 1747 kompeni Belanda mengadakan pembaharuan peradilan. Tidak hanya untuk kota Semarang dan daerah-daerah di sekitarnya saja, tetapi sekaligus juga untuk seluruh daerah-daerah lain di pesisir utara dan timur tanah Jawa.
Peristiwa ini merupakan suatu peristiwa penting yang di kemudian hari tidak hanya tercatat dalam lemba an sejarah kota Semarang saja tetapi juga tercatat sebagai suatu peristiwa penting dalam sejarah peradilan Indonesia.
Pada tahun itu kompeni Belanda telah membentuk Raad van Justitie dan Landraad di Semarang. Kalau yang pertama bertugas mengadili perkara-perkara yang terjadi di kalangan orang Eropa atau di kalangan orang Eropa dan orang-orang bukan Eropa (misalnya orang Tionghoa dan orang Jawa), maka lembaga hukum yang dinamakan "landraad' itu hanya khusus mengadili perkara-perkara yang terjadi dikalangan orang-orang pribumi saja merupakan landraad (pengadilan negeri) pertama dalam sejarah peradilan di Indonesia.
Seperti halnya dgn Raad van Justitie, maka landraad atau pengadilan negeri Semarang pada waktu itu mempunyai daerah kewenangan yang luas sekali yaitu seluruh daerah pesisir utara dan timur tanah Jawa .
Sebagai ketua dari badan pengadilan itu ialah gubernur pantai utara dan timur pulau Jawa sendiri. Sedangkan sebagai anggautanya di tunjuk tujuh orang bupati-bupati yang terkemuka di daerah tersebut. Di samping itu masih terdapat seorang panitera bangsa Belanda dan seorang panitera bangsa Jawa, di samping seorang pejabat penuntut keadilan yang bergelar jaksa.
Badan pengadilan itu merupakan satu-satunya badan pengadilan, yang berwenang untuk memutus perkara-perkara perdata dan pidana yang besar-besar yang terjadi di daerah pesisir utara dan timur tanah Jawa. Sedangkan perkara-perkara yang kecil-kecil diadili oleh para bupati di masingmasing daerah dengan menugaskan seorang jaksa, untuk mengadilinya.
Untuk keperluan badan pengadilan itu kompeni Belanda pada tahun 1750 telah memberikan sebuah "Compendia" yang nama lengkap nya sangat panjang sekali, yaitu: "Kitab hukum perihal hukum-hukum Jawa yang besar artinya, yang turunkan dengan teliti dari kitab hukum Islam Mogharraer, dan sedapat-dapatnya dikumpulkan dengan hukum Tuhan. hukum alam serta hukum anak negeri supaya kemudian, dengan tidak melanggar adat serta kebiasaan Jawa, Pengadilan Negeri di Semarang dapat memutus perkara rakyat penduduk daerah-daerah kompeni dalam hal perdata atau pidana. Dalam kepustakaan sejarah hukum Indonesia kitab itu lazim disingkat dengan nama Kitab Hukum Mogharraer.
No comments:
Post a Comment