Kantor Gubernur Pantai Utara Jawa
Keadaan semacam itu berjalan beberapa masa lamanya. Pada tahun 1770-an, sebagai tempat kediaman resmi "gubernur pantai utara dan timur tanah Jawa" pada waktu itu telah ditunjuk suatu bangunan baru, terletak di suatu kawasan yang sebelumnya merupakan tempat pertamanan gubernur. Letaknya 'sekarang ini berada di depan kantor pos besar Semarang, di suatu kawasan yang pada masa' tempo doeloe diguna kan sebagai kompleks "Gouvernnements Belasting en Ontvangerskantoor" (Kantor Bea dan Cukai Gubernemen) Adapun bangunan yang lama kemudian digunakan sebagai tempat untuk melakukan pekerjaan kantor dan pekerjaan-pakerjaan dinas lainnya, untuk akhirnya dalam abad ke 19 habis terbakar. (Kuiper. K.G. opcit).
Bangunan baru tempat kediaman resmi "gubernur pantai utara dan timur tanah Jawa" itu pernah dipuji oleh seorang penulis Belanda bernama J.S. Stavorinus dalam buku laporan perjalanannya "Reize van Zeeland over de Kaap Goede Hoop en Batavia naar Semarang, Macassar, Amboina, Suratte enz gedaan in de jaaren 1774 tot 1778" - "Perjalanan dari Zee land melewati Negeri Tanjung Pengharapan dan Betawi ke Semarang, Macassar, Ambon, Surat tsb. selama tahun 1774 sampai 1778". Dalam buku itu dia.memuji bangunan baru tempat kediaman resmi "gubernur pantai utara dan timur tanah Jawa" itu sebagai "een fraai en ruim gebouw,, suatu bangunan yang indah dan luas".
Mengenai bangunan ini dalam artikelnya "lets Over Oud-Semarang" Van Heuven pemah mengemukakan keterangan bahwa dikalangan masyarakat Belanda kuno ada kebiasaan untuk menghiasi bangunan-bangunan dengan nama nama yang indah. Dan mengikuti adat kebiasaan Belanda kuno itu, bangunan baru tempat kediaman resmi gubernur kompeni Belanda itu kemudian diberi nama "de Vrijheid" artinya ,,Merdeka"!
Namun, boleh percaya atau tidak, sekalipun letak nya berada di Semarang, "Gedung Merdeka" tempat kediaman resmi gubernur kompeni Belanda, waktu itu secara resminya harus dikatakan berada diluar kota Semarang. Hal itu sebenarnya tidak mengherankan kalau diingat bahwa yg dinamakan kota Semarang pada masa itu (pertengahan abad ke 18) sebenarnya hanyalah sebuah kawasan yang terletak dl seberang timur darl Jembatan Mberok, yang nota bene merupakan sebuah tempat pemukiman orang-orang kompeni Belanda. Dengan demiklan seperti halnya “Gedung Merdeka", baik kanjengan maupun mesjid besar Semarang, waktu itu pun resminya sebenarnya juga harus dikatakan berada di luar kota Semarang.
Sampai dimana batas-batas yg dinamakan kota Semarang pada masa itu dapat kita ketahui diantaranya dari sebuah peta kuno kota Semarang dari tahun 1756, jadi 15 tahun setelah usainya pemberontakan Tionghoa di Semarang, yang hingga sekarang masih tersimpan dalam koleksi Rijks Archief di s'Gravenhage Nederland.
Mengenai peta ini perlu dicatat, bahwa entah mengapa, pelukisnya ternyata telah berbuat kekeliruan besar. Peta tersebut telah digamber secara terbalik, hingga kota Semarang yang mestinya waktu itu berada di seberang timur kali Semarang, karena terbalik, menjadi terletak di seberang baratnya.
Terbaliknya peta kuno kota Semarang tahun 1756 itu jelas sekali terlihat kalau kita memperhatikan bidang-bidang kecil yang ditandai dengan huruf P dan O. Menurut legenda yang terpasang diatas peta itu, kedua huruf itu masing-masing dipakai untuk menandai "De Suyder Poort" dan ”De Oost Poort" artinya ,”Pintu gerbang selatan" dan ”Pintu gerbang timur". Hal itu jelas tidak cocok dengan letak keduanya dalam peta tersebut dan baru akan sesuai jika peta itu dibalik.
Adanya kedua pintu gerbang dalam peta kuno kota Semarang tahun 1756 itu benar-benar sangat menarik perhatian. Keduanya bisa segera membawa alam fikiran orang pada asosiasi bahwa pada waktu itu kota Semarang memiliki suatu pagar benteng berkeliling. Asosiasi semacam itu memang tidak meleset.
Bangunan baru tempat kediaman resmi "gubernur pantai utara dan timur tanah Jawa" itu pernah dipuji oleh seorang penulis Belanda bernama J.S. Stavorinus dalam buku laporan perjalanannya "Reize van Zeeland over de Kaap Goede Hoop en Batavia naar Semarang, Macassar, Amboina, Suratte enz gedaan in de jaaren 1774 tot 1778" - "Perjalanan dari Zee land melewati Negeri Tanjung Pengharapan dan Betawi ke Semarang, Macassar, Ambon, Surat tsb. selama tahun 1774 sampai 1778". Dalam buku itu dia.memuji bangunan baru tempat kediaman resmi "gubernur pantai utara dan timur tanah Jawa" itu sebagai "een fraai en ruim gebouw,, suatu bangunan yang indah dan luas".
Mengenai bangunan ini dalam artikelnya "lets Over Oud-Semarang" Van Heuven pemah mengemukakan keterangan bahwa dikalangan masyarakat Belanda kuno ada kebiasaan untuk menghiasi bangunan-bangunan dengan nama nama yang indah. Dan mengikuti adat kebiasaan Belanda kuno itu, bangunan baru tempat kediaman resmi gubernur kompeni Belanda itu kemudian diberi nama "de Vrijheid" artinya ,,Merdeka"!
Namun, boleh percaya atau tidak, sekalipun letak nya berada di Semarang, "Gedung Merdeka" tempat kediaman resmi gubernur kompeni Belanda, waktu itu secara resminya harus dikatakan berada diluar kota Semarang. Hal itu sebenarnya tidak mengherankan kalau diingat bahwa yg dinamakan kota Semarang pada masa itu (pertengahan abad ke 18) sebenarnya hanyalah sebuah kawasan yang terletak dl seberang timur darl Jembatan Mberok, yang nota bene merupakan sebuah tempat pemukiman orang-orang kompeni Belanda. Dengan demiklan seperti halnya “Gedung Merdeka", baik kanjengan maupun mesjid besar Semarang, waktu itu pun resminya sebenarnya juga harus dikatakan berada di luar kota Semarang.
Sampai dimana batas-batas yg dinamakan kota Semarang pada masa itu dapat kita ketahui diantaranya dari sebuah peta kuno kota Semarang dari tahun 1756, jadi 15 tahun setelah usainya pemberontakan Tionghoa di Semarang, yang hingga sekarang masih tersimpan dalam koleksi Rijks Archief di s'Gravenhage Nederland.
Mengenai peta ini perlu dicatat, bahwa entah mengapa, pelukisnya ternyata telah berbuat kekeliruan besar. Peta tersebut telah digamber secara terbalik, hingga kota Semarang yang mestinya waktu itu berada di seberang timur kali Semarang, karena terbalik, menjadi terletak di seberang baratnya.
Terbaliknya peta kuno kota Semarang tahun 1756 itu jelas sekali terlihat kalau kita memperhatikan bidang-bidang kecil yang ditandai dengan huruf P dan O. Menurut legenda yang terpasang diatas peta itu, kedua huruf itu masing-masing dipakai untuk menandai "De Suyder Poort" dan ”De Oost Poort" artinya ,”Pintu gerbang selatan" dan ”Pintu gerbang timur". Hal itu jelas tidak cocok dengan letak keduanya dalam peta tersebut dan baru akan sesuai jika peta itu dibalik.
Adanya kedua pintu gerbang dalam peta kuno kota Semarang tahun 1756 itu benar-benar sangat menarik perhatian. Keduanya bisa segera membawa alam fikiran orang pada asosiasi bahwa pada waktu itu kota Semarang memiliki suatu pagar benteng berkeliling. Asosiasi semacam itu memang tidak meleset.
No comments:
Post a Comment