Mengenai sejarah Balai Kota Semarang itu dapat dikatakan bahwa Balai Kota Semarang itu sebenarnya sudah lama didirikan. Sudah ada semenjak tahun 1787. Pada tahun 1804 atau 1805 gedungnya diganti dengan gedung yang baru. Sayang gedung Balai Kota Semarang yg baru itu pada tgl 4 Oktober 1850 atau 1851 telah terbakar disambar api (Boeboom H. Nota Bij Semarang's Oude Kaarten 1904). Dari mana datangnya api itu tidak diketahui. Yang pasti kebakaran itu menelan musnah banyak arsip-arsip kuno yang sebenarnya sangat penting artinya bagi sejarah kota Semarang. Karena kebakaran itu banyak bagian dari sejarah kuno kota Semarang terutama dari periode zaman kompeni hingga sekarang masih gelap dan bukan mustahil akan tetap dan merupakan terra incognita selama-lamanya
Menurut H. F.Tillema dalam bukunya yg sangat terkenal "Kromo blanda, Over vraagstuk van "het wonen" in Kromo's groote land" jilid V”, sebelum terbakar sebenarnya Balai Kota Semarang tersebut merupakan suatu bangunan yang boleh dikatakan "adiluhung dan "merak ati" - een eerwaar dig gebouw - di mana bagian dalamnya dipergunakan sebagai tempat penjara sementara bagian atasnya telah dipergunakan sebagai tempat untuk urusan pengadilan dan kepolisian.
Tiga tahun setelah Balai Kota Semarang itu terbakar kira-kira pada tahun 1853 atau 1854 kita melihat adanya usaha-usaha untuk membangun sebuah gedung Balai Kota Semarang yang baru, yang terletak di seberang barat dari Jembatan Mberok, di mana sekarang berdiri kantor KBN. Setelah selesai, gedung Balai Kota Semarang yang baru itu ternyata merupakan suatu bangunan yang sangat luas dan berbentuk segi empat, jauh lebih indah dari gedung Balai Kota yang lama.
Pada waktu itu masyarakat umum menyebut gedung Balai Kota Semarang yang baru itu "De Groote Huis" alias "Istana Agung”. Namun mengingat gedung tersebut, sebenarnya adalah gedung "kantor" Residen, gedung itu oleh khalayak ramai juga lazim disebut se bagai "residentie kantoor" atau "kantor keresidenan". Masyarakat Semarang sendiri lebih suka menyebutnya "Gedong Papak" karena bentuknya memang “papak", dan sebutan itu terus dipakai lama sekali hingga masa kemerdekaan, bahkan lebih tepatnya lagi hingga gedung itu musnah terbakar disambar api pada tangal 30 Nopember 1954 jam 01:15 malam.
Menurut Liem Thian Yoe pada tahun 1877 di Pecinan Semarang pernah hidup seorang "pach ter gade" Tionghoa bernama Be Soe Ie. Pada waktu itu dia telah merombak tempat tinggalnya yang pada waktu itu sekaligus juga telah di gunakan olehnya sebagai rumah gadai, menjadi suatu bangunan "dibikin zonder woewoengan" Jadi bagian atasnya dibuatnya rata, untuk digunakan sebagai tempat penjemuran barang-barang yang telah digadaikan orang ke padanya, dengan harapan “soepaya gampang bikin penilikan dan tiada gampang ilang seperti kapan didje moer ditanah". Oleh para penduduk pada waktu itu rumah"pacter gade" itu lalu disebut "gedong papak."
Tetapi, penguasa di Semarang rupanya tidak senang pada perbuatan Be Soe Ie tersebut. Selang beberapa bulan setelah bangunan itu selesai didirikan, rumah gedung besar yang terletak di Gang Pinggir mau tidak mau harus dirombak karena dianggap meniru gedong negeri atau kantor besar (residentie kantoor). Selain itu itu menurut Liem Thian Yoe, rumah itu selanjutnya di robohkan dan diganti dengan bangunan yang memiliki wuwungan. Sementara Be Soe Ie sendiri kemudian telah didenda sebagai pelanggaran karena meniru gedong negri".
Menurut H. F.Tillema dalam bukunya yg sangat terkenal "Kromo blanda, Over vraagstuk van "het wonen" in Kromo's groote land" jilid V”, sebelum terbakar sebenarnya Balai Kota Semarang tersebut merupakan suatu bangunan yang boleh dikatakan "adiluhung dan "merak ati" - een eerwaar dig gebouw - di mana bagian dalamnya dipergunakan sebagai tempat penjara sementara bagian atasnya telah dipergunakan sebagai tempat untuk urusan pengadilan dan kepolisian.
Tiga tahun setelah Balai Kota Semarang itu terbakar kira-kira pada tahun 1853 atau 1854 kita melihat adanya usaha-usaha untuk membangun sebuah gedung Balai Kota Semarang yang baru, yang terletak di seberang barat dari Jembatan Mberok, di mana sekarang berdiri kantor KBN. Setelah selesai, gedung Balai Kota Semarang yang baru itu ternyata merupakan suatu bangunan yang sangat luas dan berbentuk segi empat, jauh lebih indah dari gedung Balai Kota yang lama.
Pada waktu itu masyarakat umum menyebut gedung Balai Kota Semarang yang baru itu "De Groote Huis" alias "Istana Agung”. Namun mengingat gedung tersebut, sebenarnya adalah gedung "kantor" Residen, gedung itu oleh khalayak ramai juga lazim disebut se bagai "residentie kantoor" atau "kantor keresidenan". Masyarakat Semarang sendiri lebih suka menyebutnya "Gedong Papak" karena bentuknya memang “papak", dan sebutan itu terus dipakai lama sekali hingga masa kemerdekaan, bahkan lebih tepatnya lagi hingga gedung itu musnah terbakar disambar api pada tangal 30 Nopember 1954 jam 01:15 malam.
Menurut Liem Thian Yoe pada tahun 1877 di Pecinan Semarang pernah hidup seorang "pach ter gade" Tionghoa bernama Be Soe Ie. Pada waktu itu dia telah merombak tempat tinggalnya yang pada waktu itu sekaligus juga telah di gunakan olehnya sebagai rumah gadai, menjadi suatu bangunan "dibikin zonder woewoengan" Jadi bagian atasnya dibuatnya rata, untuk digunakan sebagai tempat penjemuran barang-barang yang telah digadaikan orang ke padanya, dengan harapan “soepaya gampang bikin penilikan dan tiada gampang ilang seperti kapan didje moer ditanah". Oleh para penduduk pada waktu itu rumah"pacter gade" itu lalu disebut "gedong papak."
Tetapi, penguasa di Semarang rupanya tidak senang pada perbuatan Be Soe Ie tersebut. Selang beberapa bulan setelah bangunan itu selesai didirikan, rumah gedung besar yang terletak di Gang Pinggir mau tidak mau harus dirombak karena dianggap meniru gedong negeri atau kantor besar (residentie kantoor). Selain itu itu menurut Liem Thian Yoe, rumah itu selanjutnya di robohkan dan diganti dengan bangunan yang memiliki wuwungan. Sementara Be Soe Ie sendiri kemudian telah didenda sebagai pelanggaran karena meniru gedong negri".
Gedung Papak
No comments:
Post a Comment